Pendidikan (Dok Google)

Barang kali, ada dua postulat yang menjadi akar genealogi pendidikan. Keduanya diambil dari sifat alamiah manusia. Pertama, sifat dominasi, kerakusan dan ketamakan. Sifat ini kemudian menjelma menjadi model pendidikan kompetitif yang berkonotasi kepada peng-iya-an terhadap kapitalisme. Model pendidikan ini menumbuhkan semangat maupun legitimasi kapitalisme yang berorientasi kepada individualisme dan materialisme.

Lebih lanjut, model pendidikan bersistemkan kompetitif memiliki karakteristik saling berlomba-lomba untuk menjadi orang yang terbaik dan unggul di setiap mata pelajaran. Model ini menanamkan kesadaran semangat jiwa persaingan dalam diri individu. Di mana nilai dan prestasi menjadi barometer kesuksesan dan keunggulan. Diskursus ini berpuncak kepada ideologisasi pencarian pekerjaan.  Hal ini memberikan dampak kepada peserta didik tidak lagi mencari ilmu. Atau mengurangi, bahkan menghilangkan nilai substansial dari suatu instansi pendidikan, yakni berburu ilmu.

Permasalahannya bukan terletak dalam usaha menjadi orang yang lebih baik maupun menumbuhkan kesadaran semangat bersaing. Akan tetapi, kesalahan yang tergolong sangat fatal dari praktik fenomena pendidikan kompetitif terletak pada kesuksesan diukur dari mengalahkan lawan peserta didik lain. Dapat juga dikatakan, kesadaran mengalahkan dan mendominasi teman seperjuangan merupakan bentuk prestasi dan kesuksesan. Dalam hal ini, diktum Thomas Hobbes sangatlah pantas disematkan kepada model pendidikan ini. Yakni, homo homeni lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).

Mungkin pembaca akan menilai penulis terlalu suudzon, sinis dan terburu-buru menyikapi permasalahan pendidikan berbasis kompetitif. Jika saja kita hendak membuka mata, pendidikan berbasis kompetitif seperti yang dipraktikkan hampir merata di seantero Indonesia, melulu menyibukkan kepada kecerdasan intelektual (IQ). Sementara kecerdasan emosional dan spiritual, menjadi terlupakan. Indikasinya adalah mahasiswa terlalu disibukkan dengan tugas, makalah dan presentasi. Sehingga kesibukan pengembangan minat dan potensi serta berkecimpung dalam berorganisasi dan diskusi termarjinalkan. Padahal, hal terakhir inilah satu-satunya ajang di mana mahasiswa dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya (EQ).

Berapa banyak mahasiswa kini tak lebih sekedar budak dan korban sistem pendidikan. Mereka dipaksa unggul di setiap bidang matakuliah yang bertendensi unggul dalam kecerdasan intelektual. Tapi mandul dalam hal kecerdasan emosional.

Faktanya, tidak sedikit sistem pendidikan melupakan hal yang paling signifikan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Seperti yang telah ditetapkan oleh Garis-garis Besar Haluan  Negara (GBHN) dalam pasal berkaitan dengan pendidikan. Bahwa, “pendidikan kita bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan tanah air, agar dapat membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”

Dari GBHN di atas dapat disimpulkan secara eksplisit, bahwa pendidikan Indonesia semestinya tegak berdiri menancapkan kaki kepada hal kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Yang nantinya berujung kepada semangat berkebangsaan.

Selain dapat menghilangkan hal substansial dari berburu ilmu, dampak buruk dari model pendidikan kompetitif juga memberikan efek kesadaran palsu. Entah bagi mereka yang mendapat nilai tinggi, maupun bagi mereka yang bernilai rendah. Bagi mereka yang mendapat nilai tinggi, mereka optimis jika mereka adalah orang yang pintar dan unggul dari pada mereka yang bernilai rendah. Sedangkan mereka yang bernilai rendah, memberikan efek pesimis bahwa mereka adalah pecundang, tidak berguna, bodoh dan termarjinalkan. Dari sinilah terbentuknya ketimpangan sosial.

Fakta di lapangan berkata, tidak sedikit orang-orang pesimis dan enggan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tentunya permasalahan ekonomi, bukanlah satu-satunya alasan yang membuat mereka minder. Malahan, dampak pesimistis yang terjadi akibat kuatnya persaingan di suatu instansi pendidikan, misal saja perihal sadar diri akan mental dirinya yang bodoh, tidak berguna dan tidak tahu apa-apa, membuat mereka pesimis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sangat ironi jika pendidikan bukan menumbuhkan pengharapan, namun memberikan mindset pesimis serta pasrah terhadap keadaan. Semestinya, sudah menjadi keharusan jika pendidikan memberikan motivasi dan pengharapan. Kenyataannya, lagi-lagi pendidikan malah memupuskan pengharapan. Fenomena ini terjadi karena pendidikan hanya menilai barometer kepintaran peserta didik, diukur hanya dari tingginya nilai dan IPK. Sehingga bagi mereka yang bernilai rendah, berkeyakinan bahwa dirinya bodoh dan tak berguna. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang bernilai rendah, lebih pintar dari mereka yang bernilai tinggi. Mereka yang awalnya bodoh, setelah berlalunya hari demi hari, dapat menyaingi bahkan melebihi mereka yang awalnya pintar. Sekalipun nilai atau IPK mereka rendah, bukan berarti mereka bodoh.

Mengkaji genealogi model pendidikan kompetitif, yang mana sudah ditulis di atas bahwa pendidikan ini mendasarkan kepada sifat alamiah manusia, yakni dominasi, kerakusan dan ketamakan, setidaknya, penulis menggunakan pendekatan teori evolusi Darwin. Perlu diketahui, pendekatan ini bukan sebagai pisau analisa. Melainkan hanya sebagai analogi, persamaan teori evolusi dan fenomena yang terjadi di instansi pendidikan untuk mengantar kepada sebuah pemahaman. Bahwa, fenomena pendidikan yang bersifat kompetitif sangat mirip dengan proses kejadian teori evolusi. Yang mana mereka yang pintar dan bernilai tinggi yang berkuasa, sementara mereka yang bodoh dan bernilai rendah adalah kelas lemah yang ditindas, ditinjau dari aspek psikologis.

Sebenarnya, ada pula teori lain yang dapat dijadikan analogi. Seperti teori evolusi sosial dari Herbert Spencer. Namun, penulis hanya memfokuskan kepada teori evolusi Darwin.

Teori evolusi kali pertama dikenalkan oleh Charles Darwin. Namun, ketika membaca sejarah, sebenarnya Darwin bukanlah orang yang pertama kali berbicara teori evolusi. Bahkan, berabad-abad sebelum Darwin, intelektual muslim kita juga pernah berbicara teori evolusi. Misal, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina dan al-Mas’udi.

Namun, aksioma yang membedai antara teori evolusi Darwin dengan ketiga intelektual muslim kuno, adalah hipotesisnya yang mengatakan teori evolusi Darwin terjadi karena hukum alam, yakni survival of the fittest. Pada akhirnya, teori ini berkesimpulan bahwa evolusi dapat terjadi karena adanya proses natural sellection. Di mana bagi mereka yang kuat dan berkuasalah dapat hidup dan bereproduksi, dari bentuk yang sederhana menuju bentuk yang sempurna.

Dari sedikit pengetahuan cuplikan gambaran tentang teori evolusi Darwin di atas, akan memudahkan kita memahami realita pendidikan saat ini yang berbasis kompetitif. Bahwa, penghasil nilai tinggi yang berkuasa. Sedangkan penghasil nilai rendah adalah orang lemah dan termarjinalkan. Mereka, penghasil nilai tinggi, adalah orang yang berhasil lulus dari proses seleksi sekolah (school sellection). Sehingga mereka, secara psikologis optimis layak menjadi orang sukses dan hidup yang mapan. Berkebalikan dengan mereka, penghasil nilai rendah memberikan dampak psikis-pesimistis. Mereka berpemikiran tidak berguna dan tidak tahu apa-apa. Sehingga keburukan, kegagalan dan kejelekan menjadi kenyataan hidup yang mesti mereka terima secara an sich.

Dari sinilah penindasan secara psikis dan ideologis terjadi. Mereka yang mendapat nilai rendah, menjadi pesimis apabila hendak melanjutkan ke jenjang perguruan yang lebih tinggi. Sehingga mereka berhenti melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Seakan-akan, jenjang perguruan tinggi teruntukkan bagi mereka yang berhasil dalam proses scholl sellection. Fenomena ini berkonsekuensi, yang pintar semakin pintar, yang bodoh semakin bodoh. Mirip dengan teori evolusi Darwin, yang kuat berreproduksi, yang lemah mati dan punah.

Kedua, sifat gotong royong dan kerja sama. Pendidikan yang didasarkan atas dasar semangat sifat gotong royong dan kerja sama menghasilakan model pendidikan kooperatif-kolaboratif. Model pendidikan ini menumbuhkan semangat sosialisme bagi peserta didiknya.

Kerja sama, persahabatan, serta saling bahu membahu menghadapi dunia yang menjadi tempat keburukan, merupakan hal yang sentral dari model pendidikan kooperatif-kolaboratif. Di mana tolong menolong menjadi semangat dalam hal teknis dalam penerapan pendidikan ini.

Keunggulan penerapan model pendidikan kooperatif-kolaboratif, mengajarkan tidak ada manusia yang sempurna, kesamaan derajat dan kesamaan hak dan kewajiban. Sehingga jika saja ada teman yang merupakan peserta didik ditimpa suatu permasalahan, secara reflek dia akan membantu dengan tanpa pamrih.

Selain itu, manfaat dari model pendidikan kooperatif-kolaboratif bukan lagi berkutat kepada pencarian pekerjaan. Namun, lebih menyibukkan kepada pembukaan lapangan pekerjaan.

Banyak yang meyakini akibat perubahan dunia secara cepat, laju perkembangan informasi dan teknologi yang begitu massif, ditambah akan adanya persaingan pasar bebas (MEA) mendatang, pendidikan kompetitif satu-satunya jawaban dari tantangan problematika dewasa kini. Pertanyaannya, benarkah pendidikan kompetitif yang mengajarkan semangat kesadaran persaingan merupakan satu-satunya jawaban dari problematika dewasa kini?

Hemat penulis, tidak. Karena permasalahan globalisasi, yang mencetak manusia zaman now menjadi individualistik, dapat diselesaikan dengan cara kepekaan sosial dan kepedulian antar sesama yang sangat tinggi. Yang kemudian berimplikasi kepada praktek kerja sama, tolong menolong serta gotong royong, bahu membahu menghadapi permasalahan bersama. Bukan malah meningkatkan persaingan antar satu sama lain.

Sudah menjadi barang tentu ideologisasi kerja sama, tolong menolong dan gotong royong, ditanam berawal dari pendidikan. Lebih tepatnya pendidikan yang bersifat kolaboratif-kooperatif. Bukan malah menumbuh-suburkan pendidikan yang bersifat kompetitif.

Adapun seluruh instansi pendidikan, juga mendukung penuh penerapan pendidikan yang bersifat kolaboratif-kompetitif. Menambah pengharapan, penumbuhan potensi, minat dan bakat, memberikan motivasi serta tak melupakan semangat berorganisasi semestinya juga menjadi perhatian khusus, tidak hanya memandang dengan pandangan selayang pandang.

Karena bagai manapun, dilihat dari segi manapun, mungkin peserta didik tidak lebih dari 20% populasi Indonesia. Namun, mereka 100% adalah masa depan dari bangsa Indonesia.

 

By. Friedrich Z. Fazi