Penulis: Zamzam Qodri

Editor: Habib Muzaki

 

Alhamdulillah, kita sudah menuju hari yang fitri setelah sekian lama berpuasa di bulan suci Ramadhan. Menuju hari kemenangan setelah kita berjuang. Tapi entah selanjutnya apakah kita akan mempertahankan kemenangan tersebut atau justru dikalahkan?

Seperti yang kita ketahui, saat hari raya tiba pamflet pun dimana-mana. Ucapan selamat hari raya terpampang di sosial media. Katanya, hal itu untuk memperkuat eksistensi. Mulai ucapan dari keluarga besar, komunitas sampai organasi. Menurutku itu sudah menjadi tradisi. Karena setiap tahun aku amati, akan banyak pamflet yang dipajang untuk mengucapkan selamat pada hari-hari yang diperingati. Itu saja sih.

Untuk ucapan selamat aku tak mengapa. Tapi untuk ucapan maaf lahir dan batin ada sedikit masalah. Bagaimana tidak? Meminta maaf dengan segala pengakuan atas kesalahan yang sudah dilakukan bukan dilaksanakan dengan rendah hati, tapi dengan memasang diri dengan segala kelebihan yang ada.

Saya kira ucapan maaf tak perlu jika membawa organisasi atau instansi. Karena keduanya dan sebagainya itu tak akan dihisab. Yang dihisab nanti di akhirat bukan organisasi atau instansi kita, tapi kita. Kok malah meminta maaf pakai membawa-bawa instansi dan organisasi.

Lebih jelasnya begini, Hmmm, kita selalu mengucapkan ketika masuk Hari Raya Idul Fitri dengan ucapan, “Minal aaidin wal faaiziin” ada kata faaiziin yang artinya orang-orang yang menang. Sedangkan orientasi menang dalam islam adalah bukan kita yang sudah mengalahkan musuh di medan perang, tapi orientasi menang adalah ketika kita sudah mengalahkan hawa nafsu kita.

Maka dari itu kita merayakan hari kemenangan yang kita sebut Idul Fitri dengan acara saling maaf memaafkan. Aturan Tuhan hebat bukan? Tapi sebagian kita banyak yang menganggap diri sudah mengalami kemenangan, sehingga kita lupa dengan musibah dari menang itu sendiri. Karena kita sudah menang, maaf pun diwakilkan oleh instansi dan organisasi. Entah tak berani atau hanya sekadar malas untuk meminta maaf.

Ada yang aku tanyai tentang hal ini, ia menjawab bahwa di sosial media kontak atau teman sangat banyak, dan tak cukup waktu jika diinbox satu-satu. Cukup sampaikan di grup itu sudah terwakilkan. Atau cukup diposting di status.

Hal diatas inilah yang membuat problem. Entah gengsi atau apa, minta maaf saja cuma diposting di status dan grup. Dan dengan hal itu terkadang kita merasa cukup bahwa kita sudah fitri dan faaiziin (menang). Kita sebagai hewan yang punya pikiran seharusnya bisa berpikir. Kita sampaikan dengan ngepost ucapan minta maaf lahir dan batin di grup atau di status. Bagaimana kita bisa memastikan jika kita mendapatkan maaf dari orang yang sudah kita sakiti? Wong hanya di grup dan status.

Contoh si Fulan pernah membuat terluka si Anu. Si Anu kesal dan sakit hati kepada si Fulan. Mungkin karena si Anu tak sekuat si Fulan, maka si Anu hanya marah dalam hati dan menyimpan dendam.

Saat di hari raya, si Fulan ingin meminta maaf kepada siapapun yang dipikir pernah ia sakiti hatinya. Lalu ia hanya ngeshare ke grup dan ngepost di status dengan alasan tidak mampu mengirim pesan ke semua kontak yang dimilikinya. Untuk mempersingkat waktu akhirnya cara tadi pun dilakukan. Memang sebagian teman, ada beberapa yang menjawab atau membalas permintaan si Fulan. Bisa diterka mereka adalah teman baik si Fulan dan tak akan menyimpan dendam kepadanya.

Tapi kan tidak dengan si Anu, meskipun ia melihat status dan di grup si Fulan mengucapkan permintaan maaf, ia tidak akan membalasnya. Karena sakit hatinya sangat dalam.

Tapi hal itu berbeda dengan jika seandainya si Fulan langsung inbox si Anu untuk minta maaf padanya. Karena dengan berani si Fulan meminta maaf langsung kepada si Anu, si Anu akan memaafkan si Fulan meskipun dengan berat hati.

Ya entahlah yang benar yang mana. Apakah mereka yang meminta maaf melaui grup instansi dan organisasi, atau mereka yang langsung inbox dan ngomong kepada pribadi yang bersangkutan. Benar dan salah sangatlah relatif.

Maka dari itu saya pribadi meminta maaf kepada siapa saja yang membaca tulisan ini untuk memakluminya.

Lho kan bagian penutup tulisan ini akhirnya juga mengkhianati bagian isinya. Ya begitulah kiranya jika kita yang ingin menjunjung tinggi idealis ditengah-tengah masyarakat hedonis, materialis dan pragmatis. Awalnya cenderung idealis, akhirnya akan gak idealis juga.