Penulis : Zamzam Qodri
Editor: Habib Muzaki

Sumber: https://radarkudus.jawapos.com
Entah mengapa, setiap pemikiran yang tercipta dengan tujuan yang baik, tapi semakin waktu berjalan, paham tersebut tidak terkontrol. Ada saja oknum yang memanfaatkan.
Dulu, komunisme menjadi paham yang baik, karena paham ini menjadikan pemerintah sebagai pengontrol pasar. Jadi, satu negara akan seimbang ekonominya.
Tapi tak sebaik yang dikira, paham ini menjadikan pemerintah gila harta. Sehingga muncullah kapitalisme yang beranggapan bahwa pasar harus dipegang setiap individu. Tak ada campur tangan pemerintah.
Tujuannya baik, bukan? Tapi lambat laun orang menjadi individualis. Maka dari itu tercipta sosisalis dan seterusnya.
Begitu juga dengan feminisme, paham ini bertujuan untuk mengangkat martabat perempuan yang katanya terendahkan oleh kaum lelaki. Dengan stigma “Perempuan hanya untuk macak, masak dan manak“. Muncullah feminisme sebagai pendobrak. Bukankah itu baik? Padahal jika dilihat di Indonesia sendiri tak jadi masalah sebenarnya.
Tapi, semakin kesini paham ini sangat meresahkan. Terutama bagi lelaki. Paham inilah yang kemudian digunakan sebagai senjata oleh oknum baik perempuan dan laki-laki. Oknum perempuan yang ingin menjadikan perempuan lebih superior dari laki-laki.
Sedangkan oknum laki-laki ingin melepaskan tanggung jawab sebagai laki-laki. Sampai lahir sebuah jargon sederhana tapi meresahkan “Perempuan selalu benar”. Jargon ini bukan hasil paham feminisme, tapi hasil tafsir menurut nafsu para oknum sehingga hal ini melenceng dari tujuan paham feminisme.
Darimana melencengnya? Lihat dari dampak yang ada. Banyak laki-laki yang kehilangan ke-lelaki-annya. Contohnya bermacam-macam, ada yang berupa suami takut istri, termasuk laki – laki bisa menjadi tambah enak dengan tidak bertanggung jawab menafkahi keluarganya juga termasuk dampak buruknya.
Kok laki-laki yang gak mau bekerja untuk menafkahi keluarga termasuk dampak buruk? Ya, laki-laki sudah merasa tidak berguna. Karena sang istri merasa bisa menggantikannya. Yang kerja dari pagi sampai sore sang istri. Dan otomatis yang menafkahi keluarga adalah sang istri. Lalu bagaimana dengan suami? Meskipun banyak suami yang masih sadar akan tanggung jawabnya. Tapi juga ada yang gak mau bertanggung jawab menafkahi istrinya. Bahkan ada kasus suami hanya menjadi tukang antar jemput istrinya bekerja dan selebihnya dia santuy-santuy di rumah.
Jika dilihat sekilas, hal itu bukan masalah yang besar. Hanya saja, kurang pas aja terhadap fenomena tersebut. Apalagi feminisme adalah paham yang baik, tapi paham ini dimanfaatkan untuk kepentingan oknum tertentu. Sehingga feminisme malah dianggap sebagai paham yang buruk karena menghilangkan marwah perempuan dan menghilangkan eksistensi laki-laki.
Maka dari itu, diperlukanlah pemikiran dan gerakan cadangan untuk mencegah hal ini semakin memburuk. Agar perempuan dan lelaki kembali pada eksistensinya masing-masing. Pemikiran dan gerakan itu adalah JALARISME.
Inilah paham yang disarankan sebagai penyeimbang adanya feminisme. Kata “jalar” Berasal dari bahasa Jawa yang berarti lelaki. Diimbuhi isme menjadi paham kelelakian. Orang awam bisa juga mengartikan secara ngawur dengan artian jalarisme adalah pemikiran yang menitikneratkan supaya kita dapat memahami lelaki.
Maksud kata “kita” disini bermakna semua manusia yang membaca tulisan ini, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagian kita yang laki-laki dengan paham ini diharapkan segera paham terhadap ke-lelaki-annya. Dan, sebagian kita yang perempuan, dengan paham ini diharapkan segera memahami lelaki.
Setiap paham (isme) mungkin saja direalisasikan dengan gerakan nyata. Kebanyakan dengan gerakan yang berupa orasi dan promosi. Berteriak sampai serak menjadi gerakan yang dianggap maksimal dalam mengenalkan paham. Namun tidak dengan paham jalarisme ini. Paham ini tidak perlu bergerak agresif. Membaca, renungkan dan diam sudah bisa dikatakan sportif. Tak perlu berteriak untuk menyuarakan. Cukup dengan kepekaan, kesadaran dan perhatian. Paham ini akan berjalan. Karena paham ini bertujuan untuk paham.