doc.google

 

Petasan-petasan menyala indah di langit Nusantara, membentuk sebuah formasi yang sekaligus menjadi doa bangsa Indonesia. Lagu-lagu band ibukota menyanyikan hampir sama semua liriknya, dalam memberi suguhan tahun baru. Semua masyarakat Indonesia berkumpul merayakan apa yang mereka sebut, sebagai malam pergantian tahun. Dengan euforia yang dibuat-buat men-forward pesan melalui media social berupa ucapan selamat tahun baru dan se-abrek harapan-harapannya. Namun berbeda dengan penulis, karena penulis tidak merayakan perayaan tahunan tersebut. Ia lebih memilih untuk tetap setia bersama laptop dan jaringan data internetnya. Sedang diluar sana huru-hara masyarakat merayakan taun baru semakin menjadi-jadi setelah pukul 00.01. Setelah pesta perayaan selesai ,mereka kembali ke rumah dan bersemai dengan mimpi-mimpi awal tahun. Meski esoknya penulis yakin, akan banyak insta story ataupun status media social akan ramai-ramai berkeluh kesah.

Benar saja, setelah mereka puas memutahkan lava panas berupa iler, ia kaget mendapati notifikasi berita-berita online yang mengabarkan bahwasannya harga tarif BPJS naik 100 persen dan harga rokok naik 30 persen dari  harga normal. Bam! Ditengah-tengah APBN yang diketok oleh pemerintah dengan nominal 2.223 triliun, namun seluruh tarif naik dengan ugal-ugalan. Setelah euforia pergantian tahun baru, masyarakat langsung dihadapkan pada sebuah problematika pelik, tentang kenaikan harga jaminan kesehatan dan rokok. Dua permasalahan itu sangat mempunyai urgensi yang sangat penting di dalam kehidupan kita.

Alasan yang mendasar dari kenaikan tarif BPJS, dikarena defisit 33 Triliun. Namun disisi lain, aspek jaminan kesehatan mempunyai urgensi penting dalam masyarakat. Bahkan hal ini yang menjadi indikasi tingkat kesejahteraan masyarakat. Jika jaminan kesehatan kita yang seharusnya mendapatkan subsidi dari pemerintah harus dinaikkan tarifnya, lalu apa bedanya jaminan social bersubsidi dengan asuransi konvensional. Diberlakukannya jaminan kesehatan berupa BPJS awalnya memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya tarif yang awalnya dapat dijangkau oleh masyarakat malah meroket tajam. Kita dapat menganalogikan, bahwasannya jika ada masyarakat yang pendapatan perharinya hanya 50-100 ribu perhari. Ia akan mendistribusikan pedapatannya untuk kepentingan rumah tangga dan biaya pendidikan anak. Lantas bagaimana dengan pendanaan kesehatannya, jika ia mempunyai empat anggota keluarga, maka ia harus menanggung setiap bulannya 200 ribu untuk pembayaran jaminan kesehatan keluarganya. Itupun dengan pelayanan kelas III yang notabene tidak bisa mendapat akses atas klaim beberapa operasi yang mempunyai budget yang cukup besar.

Dari sini dapat kita sadari bahwa efisisensi management pemerintah masih belum optimal. Seharusnya pemerintah tidak perlu menaikkan tarif BPJS, karena penaikan tarif tersebut bukan salah satu dari komitmen proses pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Pemerintah bisa melaksanakan pendataan dan sosialisasi untuk meningkatkan optimalisasi partisipasi masyarakat. Mungkin bisa membuka sektor-sektor BPJS diranah kecamatan yang nantinya berkordinasi dengan tingkat kelurahan untuk memberikan penyuluhan untuk mengikuti program jaminan social bersama berupa BPJS. Dengan begitu angka partisipasi masyarakat, tentang kesadaran kesehatan bisa meningkat dan hal ini sangat membantu pemerintah dalam memberikan komitmennya untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang nirlaba.

Bila kita cermati kembali, peraturan penaikan tarif bukan menjadi solusi, melainkan pelampiasan mantan yang tersakiti. Hal ini perlu menjadi catatan para akademisi atau konsultan kesehatan diranah pemerintahan, terutama pihak-pihak yang terkait dengan instansi BPJS. ‘jangan mentang-mentang BPJS nombok 33 triliun’ dan masyarakat harus dihukum dengan membayar kenaikan tarif 100 persen. Karena betapa pun, defisit yang terjadi sudah tugas negara untuk menanggung beberapa aspek, demi melancarkan program pembangunannya. Beberapa hal yang harus dijamin oleh pemerintahan, diantarannya pendidikan, kesehatan, kelayakan pangan. Bila tiga aspek tersebut tercukup secara optimal maka, jargon pemerintahan melalui RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) tentang ‘Indonesia Emas’ tidak menjadi utopis.

Polemik yang hadir di awal tahun tidak hanya kesemwrawutan pemerintah tentang pengaturan BPJS saja. Melainkan pemerintah berusaha untuk membuat lelucon dengan meningkatnya harga rokok 30 persen dari harga awal. Dari sini arah ketidakbecusan, pemerintah semakin terlihat. Jika biaya rokok yang dinaikan 30 persen, dengan dalih untuk mengurangi jumlah perokok. Berdalih, ditakutkan menambah rentetan penderita penyakit akibat rokok. Seharusnya pemerintah tidak usah menaikkan BPJS karena biaya rokok sudah dinaikkan. Tapi megapa pemerintah masih serakah di awal tahun? Menjadikan masyarakat sebagai bulan-bulanan empuk, untuk melaksanakan program khayalan yang entah targetnya ditujukan untuk siapa.

Bila pada tahun 1945-an Tan Malaka mengatakan “Pajak adalah pencuriaan yang nyata”, maka penulis akan lebih radikal lagi dalam membuka awal tahun 2020 dengan kesemrawutan yang diciptakan pemerintah dan kaki tangannya. Diawali oleh kalimat sumpah serapah dan teriakan yang lebih mengerikan dari kelompok-kelompok tak firi yakni “Penaikan tarif kebutuhan primer masyarakat, adalah sebuah genosida terencana yang dilakukan oleh pemerintah dengan dalih- yang dibuat-buat!”

 

 

*) Akary

Pimred Forma