Sumber : google

Rakyat merupakan bagian terpenting dari pemerintahan dalam suatu negara. Rakyat terdiri dari beberapa orang yang mempunyai ideologi yang sama dan tinggal di daerah atau pemerintahan yang sama dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Rakyat sangat berperan penting dalam keutuhan NKRI. Tanpa adanya rakyat, negara tidak bisa kokoh berdiri. Sebab, rakyatlah yang membuat negara menjadi merdeka dan bahu-membahu mempertahankan negaranya.
Di Indonesia, sistem demokrasi yang diterapkan menitik beratkan semuanya terhadap rakyat. Karena, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, dan dipilih oleh rakyat, dan hasilnya diberikan untuk rakyat. Apalagi, Demokrasi Pancasila yang diterapkan di Indonesia, diambil dari nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Pada sila ke-2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini bermakna bahwa, antar-rakyat dan pemerintah terhadap rakyat, harus bersikap adil tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya.
Namun, sering kita temui belakangan ini semakin marak terjadinya kesenjangan sosial antara rakyat miskin dengan rakyat yang ber-uang. Pernyataan tersebut berarti, di dalam proses bersosial tersirat di dalamnya bentuk tindakan membeda-bedakan berdasarkan tingkatan kasta sosialnya. Hal ini, tidaklah sesuai dengan Sistem Demokrasi Pancasila yang dianut di Indonesia. Tindakan membeda-bedakan yang istilah sosiologinya dikenal dengan diskriminasi, sudah ada sejak zaman penjajahan dulu.
Dari dulu hingga sekarang tidak terlepas dari pendiskriminasian tersebut. Mengapa demikian? Karena faktanya dimana ada uang, disanalah dapat berkuasa. Sejenak dapat kita renungkan. Status sosial, jabatan, pangkat dan tebalnya dompet dapat mempengaruhi kehidupan sosial manusia. Hal itu dikarenakan, manusia sudah ber-TUHAN-kan pada uang. Seolah-olah, uanglah yang mengatur manusia. Seseorang rela melakukan apapun demi uang. Baik di dunia politik, hukum, sosial bahkan dalam segi kemanusiaan.
Seperti kasus bayi anak orang miskin yang meninggal di rumah sakit, akibat tidak segera dilayani. Alasannya karena rumah sakit itu tidak bekerjasama dengan pihak BPJS. Sebagai contoh, dilansir dari OKEZONE NEWS, Kha menulis bahwa “Sebagaimana diketahui, bayi D yang merupakan warga Kecamatan Benda, Kota Tangerang mengalami sesak nafas dan dilarikan ke RS Mitra Keluarga pada 3 September 2017 pukul 3.40 WIB. Namun, nyawanya tak tertolong sesaat sebelum dirujuk ke RS yang bekerja sama dengan BPJS sekitar pukul 9.00 WIB.” Menurut keterangan orang tua bayi, dia berpikir bahwa yang dialami tersebut merupakan tindakan diskriminasi.
Tindakan yang demikian, disebabkan karena faktor uang. Sehingga, pihak rumah sakit tidak segera bertindak dan tidak memikirkan kesehatan pasien, dan mementingkan bagaimana cara pihak pasien tersebut akan membayar. Program BPJS supaya dapat membantu rakyat miskin dalam memenuhi haknya untuk hidup. Terus apa gunanya program BPJS dari pemerintah itu? Kalau pihak rumah sakit masih mengesampingkan pasien ber-BPJS. Ujung-ujungnya nyawa pasien yang dipertaruhkan dengan tebal tidaknya isi dompet.
Contoh lain terjadi dalam ranah hukum. Hal ini sudah menjadi hal yang tabu diperbincangkan di kalangan masyarakat. Kasus pencurian yang dialami Nenek Asyani (63 tahun) yang diduga mencuri 2 batang pohon jati milik perhutani, dijatuhi hukuman 1 tahun 18 bulan penjara dan denda 500 juta rupiah. Sedangkan di pihak lain, para koruptor yang sudah jelas-jelas merugikan rakyat, dengan bangganya terseyum memamerkan ringannya hukumannya. Kenapa para koruptor tidak dihukum mati saja? Atau dipenjara seumur hidup? Suapaya menghilangkan banyaknya sampah masyarakat di muka bumi ini.
Memang benar, mencuri itu salah. Tapi, seharusnya penetapan suatu hukum juga harus sesuai dengan kejadian. Pencuri kecil seperti maling kayu diproses dengan berpegang teguh pada pasal yang berlaku. Sedangkan, pencuri berdasi diperlakukan seolah-olah para penegak hukum sedang bertemu seorang raja di meja hujau. Hal ini bisa dibilang bahwa hukum di Indonesia “tumpul ke atas dan ke bawah”. Cukup banyak hukum yang tidak berpihak kepada rakyat miskin. Sehingga, banyak yang mengatakan bahwa hukum saat ini bisa dibeli. Kenapa semua ini bisa terjadi? Karena hati nurani manusia sudah buta dengan adanya materi (uang).
Hukum perundang-undangan, pancasila dan program pemerintah sudah memberikan pengetahuan tentang pentingnya berbuat adil. Tetapi, hanya saja kurangnya pendirian dan mudah goyah akan uang yang menyebabkan banyaknya kasus diskriminasi di Indonesia. Katakan “INDONESIA TANPA DISKRIMINASI” untuk memberitahukan kepada khalayak umum agar meminimalisir ketimpangan sosial dalam masyarakat.
Oleh : Sibghatin Desi Maulida/ Tapsitera’18