Penulis: Ardita Sindy C.
Editor: Khalimatus Sadiah
Menjelang senja yang warnanya indah di padang oleh mata telanjang. Ayunda pulang dengan membawa motor layaknya orang kesetanan. Ia tidak ingin membuang banyak waktu seperti omong kosong yang biasa di ucapkan oleh teman-temannya. Bagi Ayunda waktu adalah kesempatan menciptakan hal-hal baik.
Sesampainya Ayunda di rumah kontrakannya. Ia langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan badan lalu mempersiapkan diri menjadi gadis feminim. Ia akan bertemu dengan lelaki yang ia juluki malaikat penenang.
“Aku sudah siap. Pasti ia akan suka dengan diriku yang seperti ini,” gumamnya.
Jam menunjukkan pukul tujuh. Setelah meyakinkan diri Ayunda memesan taxi online untuk menuju tempat yang telah mereka sepakati.
Perjalanan yang cukup singkat membuat senyum Ayunda merekah. Di depannya sekarang terpampang gedung bertingkat dua belas. Tampak sepi mungkin orang-orang di dalamnya sedang mengistirahatkan tubuh. Ayunda hanya melihat wanita cantik yang ia yakini resepsionis dan beberapa orang yang memakai baju bernama tag OB. Ayunda pun melangkahkan kakinya ke tempat wanita cantik itu.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin ke Ruftop. Di sana saya akan menemui Abigail.”
“Anda dapat melewati lift tersebut nanti setelah lantai sebelas anda harus memakai tangga untuk menuju Ruftop..”
“Terima kasih.”
“Sama-sama. Semoga hari anda menyenangkan.”
Ayunda hanya mengangguk. Meskipun dalam hati ia kesal. Kata terakhir yang ia dengar seperti doa. Dimana ia akan mengalami hal buruk. Sebab ia tidak suka dengan kata semoga.
***
“Apa kabar jiwa?”
“Kenapa yang kamu pertanyakan pertama kali jiwa. Tidak bisakah kamu memujiku terlebih dahulu?”
Lelaki itu terkekeh, “Kamu selalu cantik jadi mana lagi yang harus aku puji?”
“Jiwaku baik-baik saja setelah sampai di sini.” Ayunda membuang nafas berat.
“Ayolah, Da. Umur kamu bukan lagi anak kecil. Kamu harus bisa netral. Egois tidak membuat kamu baik-baik saja bukan?”
Ayunda menundukkan kepala. Mencoba menyadarkan dirinya bahwa hal yang ia lakukan dengan pura-pura itu tidak baik. Ayunda egois kepada jiwanya sendiri. Ia tidak akan menyangkal penuturan Abigail. Ia hanya dapat membuat hujan mengalir di pipinya.
“Maaf,” suara lirih itu terasa menyebalkan.
Lelaki itu menarik tubuh Ayunda ke dalam dekapannya. Menyalurkan rasa hangat dan nyaman secara bersamaan. Perlahan namun pasti hujan di pipi Ayunda reda. Tergantikan oleh senyuman yang selalu membuat Abigail senang.
“Aku masih capek. Apa aku bisa pulang?”
“Pulang seperti apa yang kamu mau. Bukankah aku adalah rumah?”
“Aku ingin tidur panjang di sisi-Nya.”
“Jangan ya. Semesta tidak kejam ketika kamu dapat menjadi diri kamu sendiri. Jika sedih tidak perlu kamu tutupi sebaliknya ketika senang pun begitu.”
“Tapi itu sulit mereka juga pembohong.”
“Itu urusan mereka bukan urusanmu.”
“Apa kamu senang aku menjadi manusia yang di kasihani?”
“Tidak ada yang kasihan padamu, Da. Pikiran kamu saja yang jahat.”
Ayunda diam seribu bahasa. Pikirannya berjalan-jalan membuatnya membuka luka yang belum kering. Dimana dia di tuduh menjadi pembunuh kakaknya. Padahal ia berniat menolong kakaknya agar percobaan bunuh diri itu gagal. Namun, takdir berkata lain.
Akibat hal tersebut Ayunda menjadi gadis pendiam dan tidak banyak bicara. Ia sering kali ingin membantu orang tetapi ia urungkan.
“Hari sudah semakin malam. Aku harap pertemuan selanjutnya kamu benar baik-baik saja bisa?”
“Mungkin bisa. Aku tidak mau janji nanti kamu besar kepala.”
“Ada-ada saja kamu.” ucap Abigail sembari mengacak-acak rambut Ayunda dengan gemas. Setelahnya mereka pun meninggal Ruftop dengan tangan yang bergandengan. Menunjukan pada semua mata bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Padahal hubungan mereka hanya sebatas teman diskusi. Mereka tidak ingin membawa hati karena mereka tidak ingin saling meninggalkan.
***
Dua bulan sudah Ayunda lewati sendirian. Dengan susah payah ia pun mulai menjadi dirinya yang dulu. Tidak ada ketakutan yang menghantuinya. Ia dapat berekspresi sesuai dengan keadaan hatinya. Jiwanya sudah tenang.
Pikirannya berubah menjadi positif thinking. Ia dapat bercerita banyak hal dengan teman-temannya yang ia pikir dulu mereka adalah pembohong.
“Da, jadi bagaimana dengan konser kali ini?”
“Baik dan sesuai ekspektasi kita.”
“Kita? Aku tidak berekspektasi apa pun.” kata Fela gadis berponi yang memiliki otak lemot serta ucapan yang sarkas. Siapapun pasti menjaga tutur kata saat sedang mengobrol dengannya.
“Fela jangan jadi menyebalkan sekarang.” ucap Cinta.
“Iya aku saja yang berekspektasi kalian tidak.” Ayunda terkekeh setelah mengakui sesuatu yang seharusnya bukanlah kesalahannya.
***
Pulang dari konser Ayunda memasuki kamarnya yang didominasi oleh keheningan. Hal itu membuatnya menyalakan radio dan membuka laptop untuk mengecek e-mail yang masuk. Matanya menajam ketika melihat pesan dari Abigail. Pesan yang di kirim delapan hari yang lalu itu isinya begitu menyayat hati. Ia terluka lagi.
From: Abigailino@gmail.com
Subject: Sedikit kata dariku.
Hai, apa kabar jiwa?
Aku tau kamu baik- baik saja dan aku senang kamu begitu. Tak terasa ya sudah di penghujung tahun. Setelah pertemuan terakhir kita di bulan delapan.
Aku Cuma mau berpesan sedikit. Meskipun kita sudah tidak sealam lagi. Aku ingin kamu mencintai dirimu sendiri. Jangan biarkan pikiran kamu menyakiti jiwamu oke.
Sekian, sampai bertemu di mimpi ya. Jangan sedih karena aku. Aku hanya lelaki bodoh yang tidak bisa berbuat apa-apa saat gadis tersayangku bersedih.