Writter: UlyaRahmah
Seminggu ini ibu sering pulang malam. Entah apa yang ia kerjakan. Semenjak mangkatnya ayah, ibu jarang berbicara denganku. Beberapa tetangga mulai berbisik. Meski awalnya aku tak dengar, lambat laun angin membesarkan volume mereka. Hingga telingaku mampu menyerap suara-suara bising mereka. Aku hanya diam, meskipun aku adalah seorang lelaki yag kini berumur 23 tahun. Bisa saja kumemarkan wajah-wajah mereka yang berkata tak baik tentang ibu. Tapi tidak, ibu tak suka melihatku memukul orang. Dulu, ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Menegah Pertama, aku adalah seorang jagoan kelas yang suka berkelahi. Tiap minggu pasti membuat ibu dan ayah dipanggil Pak Harto, petugas BP di sekolah. Tapi semenjak ibu muntah darah, dan memintaku untuk tidak berkelahi lagi, aku pun tak pernah membuat bonyok teman sekolah. Bukan hanya itu, ibu selalu menasehatiku, Rasulullah tidak pernah memukul orang yang menyakitinya. Meskipun beliau sering kali disakiti.
Tepat pada pukul 23.00 ibu tiba di rumah. Dan aku seperti biasa menyambut wajah sendunya yang kian hari meredup. Sebagai anak, aku merasa sedih. Entah apa yang harus aku lakukan, agar wajah ibu kembali berseri. Aku mengikuti langkah ibu, menaiki tangga menuju kamar. Tiba-tiba ia berhenti. Melihat ke arahku.
“Jangan dengarkan kata tetangga, mereka hanya bermodal darah kurban,” ucapnya kemudian berlalu.
Aku tak mengerti maksud ibu, sungguh. Darah kurban yang ia maksud belum tercerna dalam pikiranku. Saat ini yang ada, hanyalah rasa ingin mencium kening ibu dan memeluknya, membuat dirinya tersenyum. Tapi belum sempat aku menjawab, ibu sudah berlalu dan menutup kamarnya. Aku berharap besok, tepatnya pada Hari bernama Idul Qurban, aku dapat mencium tangannya.
Hari ini, dua hari sebelum Idul Adha bertandang di kampung halamanku, ayam jago milik almarhum ayah berkokok lama. Tidak seperti biasanya. Perasaanku tak karuan. Kakiku bergegas menaiki tangga menuju kamar ibu. Di bawah daun pintu, kutemukan darah segar mengalir. “Ibu,” pekikku. Langsung kudobrak pintu kamar.
Kamar ibu kosong. Tak ada nafasnya di sana. Aku mencari disetiap sudut kamar. Tak kutemukan sehelai rambutnya. Yang kutemukan hanya ceceran darah mengalir dari dalam kamar mandi!
Ibu.
Aku berjalan menuju kamar mandi. Dengan detak jantung yang tidak teratur. Lagi-lagi tak kutemukan ibu. Ibu dimana? Apakah ini ada hubungannya dengan darah Kurban yang ia katakan tadi malam?
Dipojok kamar mandi, kutemukan sosok ibu dengan wajah putih pucat tanpa darah.
Siapa yang membunuh Ibuku di hitungan jam acara Kurban ini? Kuangkat diri ibu, Kugendong tubuhnya dengan tatapan nestapa, gusar dan sedih. Langkahku kakiku menuju teras rumah yang mulai dikerumuni warga.
“Ada apa dengan ibuku?” aku memandang marah kepada mereka yang masih berbisik. Datuk mendekatiku, dan berbisik padakuu untuk menurunkan jasad ibu di selembar daun pisang yang telah disediakan.
Kau tahu, aku masih bersedih. Masih sebulan lalu ayah meninggal, dan hari ini ibu. Kenapa Tuhan? Ada apa? Aku mengamati warga yang belum beranjak menyaksikan jasad ibu yang mulai membeku. “Ia adalah tumbal terakhir, dan akan menjadi yang terakhir. Kurban dihari Qurban,” bisikan warga di pojok kananku terdengar jelas.
Aku melirik kearah mereka. Ingin kuamuk, tapi Datuk mencengkeram lenganku.
“Jangan semakin memperkeruh, ibumu sudah mati dalam kekeruhan. Cukup” ingat Datuk.
Aku belum paham, Darah Kurban, dan kematian, kenapa dengan dua kata nestapa itu? Datuk jelaskan, pekikku dalam hati.
“Nanti Datuk jelaskan,” aku terperanjat, seakan Datuk tahu isi hatiku.
***
Prosesi pemakaman ibu telah selesai beberapa jam yang lalu, aku duduk disamping Datuk sambil memejamkan mata karena tak percaya atas apa yang baru aku dengar. Aku rasa, aku tak perlu menceritakan aib keluargaku sendiri di sini, namun hanya satu pesanku untuk keluarga kalian, jangan sampai kurban-kan Darah keluarga sendiri untuk suatu hal yang menyebabkan kematian. Ibu, semoga kau bahagia di sana.
(Surabaya, 10/17)