Oleh: Riza Kookie*)

Sumber: Google
Sebut saja saya adalah K-Popers, atau lebih tepatnya A.R.M.Y (Fans dari boy group asal Korea Selatan, BTS). Jum’at kemarin, 11 Oktober 2019, BTS baru saja mengadakan konser yang bertajuk Love Your Self di Riyadh, Saudi Arabia.
Ya, BTS adalah boy group kedua yang berani tampil di Saudi Arabia setelah pendahulunya, Super Junior. Tapi nyatanya perbincangan di berita sangat hangat menyebutkan BTS karena mereka adalah boy group pertama yang mampu menjual tiket ludes hanya dalam beberapa menit saja di negara Islam tersebut.
Namun sebelum membahas topik yang sesungguhnya, saya hanya ingin memberitahu para pembaca yang tidak tertarik dengan K-Pop agar tidak meninggalkan tulisan ini. Sebab saya tak akan membahas betapa mengagumkannya BTS atau betapa tampannya mereka. Melainkan akan membahas masalah cibiran netizen soal konser di Arab (Negara Islam) yang dianggap sebagai pengundang kiamat.
Sebelumnya mohon garis bawahi bahwa Saya tidak akan membahas hal ini sebagai ahli agama. Ya, karena saya pun memang tidak ahli tentunya. Namun saya akan membahas dari sudut pandang saya sebagai seorang muslim yang sangat sering dinasehati dan didakwahi. Jadi mari kita mulai.
Seperti yang kita tahu, banyak sekali ulama yang mengharamkan musik. Namun banyak juga ulama yang memperbolehkan musik asal lirik yang disampaikan dalam musik tersebut mengandung nilai-nilai positif yang akan berpengaruh baik bagi pendengarnya.
Nah, seperti yang kita tahu pula bahwa fenomena hijrah di Indonesia sedang begitu mudah kita jumpai. Entah di dunia nyata, maupun di dunia maya. Kelompok yang secara tidak langsung memiliki pedoman “Kembali pada ajaran Islam murni” ini mengharamkan musik, dan tidak ada yang salah dengan pemahaman mereka. Namun beberapa postingan akun-akun hijrah di Instagram benar-benar menggelitik jari saya untuk menulis ini.
Kemarin, saya tidak sengaja melihat sebuah postingan di Instagram yang menampilkan sebuah video ber-tagline “Astagfirullah para ukhti ini bersorak-sorak pada orang kafir”. Karena saya agak ‘gimana gitu’ dengan taglinenya, saya pun membuka kolom komentar postingan tersebut dan menemukan sebuah komentar yang agak ‘gimana gitu’ pula. “Astagfirullahaladzim.. Astagfirullahaladzim. Bayangkan para wanita berjubah dan berniqab ini menghinakan pakaian mulia mereka dengan bernyanyi-nyanyi bersama orang kafir. Musik diharamkan oleh Allah saudaraku. Orang-orang seperti ini lah yang akan membuat neraka terisi penuh dan kiamat akan datang dengan segera.”
Sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan pemahaman mereka tentang musik apakah haram atau tidak. Karena tentu, pemahaman orang-orang tentang hukum sangat bisa berbeda.
Tapi mari fokus kepada kalimat “Orang-orang seperti ini lah yang akan membuat neraka terisi penuh dan kiamat akan datang dengan segera“. Saya benar-benar tidak habis pikir mengapa seseorang bisa dengan mudah menentukan seseorang masuk neraka atau tidak, dan bagaimana pula seseorang bisa dengan mudah meramalkan kiamat?
Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman yang “religius” soal ini. Ia berkata bahwa sudah ada rulesnya, sudah ada batasannya di Alquran. Oleh karenanya dia berkewajiban mengingatkan dan berdakwah kepada orang-orang bahwa musik adalah haram. Namun aksi “mengingatkan” ini nyatanya kebanyakan tidak berjalan dengan baik.
Sama seperti komentar di postingan tadi yang lebih bersifat “menghakimi”. Saya juga merasakan sendiri bahwa penghakiman ini juga terjadi di dunia nyata. Menurut saya, dakwah bukan begitu caranya. Meskipun saya tentu bukan ahli dan sedikit tidak pantas berbicara ini.
Komentar tadi akhirnya mendapat banyak balasan. Ada jawaban yang menurut saya sangat logis, “Terima kasih sudah mengingatkan. Tapi mohon maaf kita tak pernah tahu Allah akan memasukkan mereka ke dalam neraka atau tidak sebab itu hanya hak Allah semata. Bisa jadi menjelang meninggal mereka justru menjadi orang-orang yang baik, dan bisa jadi orang-orang baik seperti Anda bisa berubah menjelang akhir hidupnya. Wallahualam. Jangan pernah menghakimi.” Jawaban yang cerdas menurut saya, namun tahukah kalian apa balasan dari orang yang menulis komentar “penghakiman” tadi? Ya, dia menjawab “Dasar pecinta plastik.” Parahnya komentar ini didukung oleh bala tentara yang mengatakan, “Alah ngapain ngingetin pecinta plastik. Mereka bakal lebih milih orang kafir daripada Rasulullah.” Saya pun hanya bisa mengelus dada melihat itu.
Jika berbicara apakah musik haram atau tidak, tentu itu kembali kepada kepercayaan kalian masing-masing. Namun upaya-upaya mengingatkan yang berujung penghakiman ini menurut saya harus dihentikan. Bukan menghentikan mengingatkannya, namun menghentikan justifikasinya.
Saya pernah menjadi orang yang begitu sering diingatkan. Namun karena menerima nasehat yang sarkas dan sangat tidak manusiawi, nasehat-nasehat tersebut akhirnya menjauhkan saya dari Islam. Saya pernah ada pada suatu titik di mana saya berpikir “Kenapa ya agamaku ketat sekali, orang-orangnya pun suka menghakimi“. Bahkan saya jadi malas salat karena sering mendapat penghakiman.
Usut punya usut, bukan hanya saya saja yang merasakan hal itu. Hampir semua K-Popers muslim merasakan hal itu. Kami (K-Popers) sering dihakimi dan dianggap sebagai pengikut dajjal, kafir, penghuni neraka, pecinta plastik, dan sebutan-sebutan lain yang sayangnya keluar dari mulut seseorang yang ngaku religius.
Sebenarnya, bukannya hati ini keras tak mau menerima nasehat, banyak dari K-Popers pun berniat berubah. Namun bisa tidak kalian berdakwah dengan cara yang humanis dan damai? Jika proses mengingatkan dan berdakwah selalu terisi dengan penghakiman, bukankah kalian malah menghilangkan nilai bahwa Islam itu damai?
Habib Husein Ja’far Al Hadar pernah berkata bahwa dakwah yang paling baik adalah dakwah yang menunjukkan keteladanan sikap. Yang pertama orang lain lihat adalah sikap, bukannya membaca Alquran.
Ini hanyalah sebuah nasehat dari saya sebagai orang yang sering dikafirkan. Mohon diterima dan semoga bermanfaat.
*(Mahasiswa Program Studi Studi Agama-agama