Doc: Google

Oleh: Jawahirul Ahmad Al Ubaidi

Sebuah pemandangan yang tak biasa terjadi tepat pada tahun 2019 lalu, yakni sebuah musibah yang melanda seluruh dunia. Ya, virus tersebutlah yang menyebabkan guncangnya kehiduan di dunia. Karena, banyak hal yang berubah saat datangnya musibah ini. Selama berbulan-bulan, dunia mengalami mati suri yang mana seluruh aktivitas di luar sama sekali tidak dilakukan. Seolah-olah virus ini seperti musuh para avanger yang ingin sekali merusak dunia. Semua orang diserang dan dianiaya tanpa memandang status ataupun jabatan, hingga akhirnya semua orang dibuat takluk olehnya.

Tepat pada bulan Mei 2020, menjadi puncak dari kemarahannya. Virus ini seolah murka yang benci akan sebuah dusta. Atau mungkin ia ingin mengingatkan para manusia akan semua kesalahan yang sudah tertera. Yang mana hal tersebut seolah menjadi pesan untuk mengetuk hati nurani setiap manusia.

Karena kemarahannya, banyak sekali perubahan dalam kehidupan yang disebabkan virus ini. Contoh saja ekonomi, pendidikan, sosial, dan yang paling parah ialah kesehatan. Bagaimana tidak? Jika imun dalam tubuh sudah tidak bisa menghalangi virus yang masuk, maka sudah bisa dipastikan bahwa yang bersangkutan akan terpapar olehnya. Walaupun berbadan kekar seperti atlet binaragawan atau atlet smackdown, jika imunnya sudah dirusak oleh virus ini, maka tetap saja akan tumbang. Yah, tentu tumbang seperti pohon yang sudah mati. Sejak bulan maret kemarin, kesehatan pun sudah menjadi sorotan utama yang dilakukan oleh semua orang, termasuk tenaga medis. Bahkan, pelbagai cara untuk mensosialisasikan pentingnya kesehatan sudah dilakukan. Namun, ya namanya manusia, terkadang masuk telinga kanan kemudian keluar telinga kiri.

Bukan hanya itu, sektor ekonomi dan sosial pun seolah berada dititik rendahnya. Banyak yang kehilangan perkerjaan, kedudukan, serta pendapatan saat situasi seperti ini. Para orangtua menjadi bingung karena kebutuhan semakin menggila. Para siswa semakin bosan karena banyaknya tugas yang tidak diimbangi dengan pelajaran. Sedangkan para mahasiswa semakin idiot karena UKT yang tetap menyedot. Apalagi pendidikan, yang mana sudah hampir satu tahun sistem pembelajaran berubah drastis. Hal ini menyebabkan para guru, siswa, serta pihak yang berkecimpung di dalamnya mau tidak mau harus merubah rencana pembelajaran. Hal tersebut menjadi sebuah pukulan telak bagi kaum akademis, karena mereka tidak mempunyai persiapan apa pun untuk menghadapi situasi ini.

Sehingga pemerintah pun mengeluarkan kebijakan untuk membatasi sistem tatap muka. Bukannya melancarkan proses pembelajaran, melainkan malah menambah beban yang tak bisa dihindarkan. Contoh saja, proses tatap muka diganti dengan mode Dalam Jaringan (Daring) yang mana pasti membutuhkan kuota internet, sinyal, dan modal yang tidak sedikit. Belum lagi jika ada siswa yang berada di daerah pinggiran, betapa beratnya beban yang ia hadapi demi mencari ilmu di jalan ilahi. Maka, sudah bisa dipastikan pula kehidupan masyarakat pada saat terdampak musibah ini.

Seiring berjalannya waktu, aturan demi aturan sudah dikeluarkan oleh pemerintah guna mencoba menanggulangi musibah ini. Dari era stay at home hingga new normal pun sudah dijalankan. Namun, masih saja belum bisa menghentikan siklus amarah dari virus ini. Alih-alih menghentikan, justru malah menambah kebingungan yang menjerat kaum awam dalam dunia keterbalikan. Banyak sekolah yang ditutup dan melakukan sistem pembelajaran dari rumah dengan alasan kesehatan. Akan tetapi tempat hiburan, pekerjaan, dan wisata sudah banyak yang buka dengan maksud mampu menggerakkan ekonomi saat pandemi. Memang saat ini sudah ada tahap uji coba untuk tatap muka, namun sudah telalu jauh jika dibandingkan dengan ekonomi yang lebih dahulu legawa. Disaat sistem ekonomi sudah naik kereta, sektor pendidikan malah baru saja keluar dari zaman purba.

Lalu muncullah beberapa pertanyaan, apakah virus hanya keluar dan menyerang kaum akademis, dan kebal bagi para pencari bisnis? Jika sekolah harus patuh protokol, tapi mengapa mall seperti jalan tol? Mungkin dari semua pertanyaan tersebut, hanya para pejabat yang dapat memberikan jawaban tepat. Jika mengaca pada negara lain, saat situasi pandemi, seluruh sektor serentak untuk tutup, kecuali sektor kesehatan. Seluruh peraturan untuk berada di rumah pasti dijalankan. Apakah mungkin negara mereka jauh lebih siap dan tepat jika dibandingkan dengan Indonesia ketika menghadapi musibah ini? Satu lagi yang tahu jawabannya, yaitu para penguasa atas segala kemukzijatannya.

Jika memang kesehatanlah prioritas mereka, maka seharusnya kebijakan yang diterapkan di sektor pendidikan juga diterapkan di sektor lainnya. Seolah-olah pendidikan saat ini sedang dipoligami saat keadaan ditimpa pandemi. Karena percuma saja jika merumahkan pendidikan, akan tetapi tetap menjalankan lainnya. Jika kasus virus ini bertambah banyak, maka kapan pendidikan kembali bergerak? Apakah harus memelas kepada virus untuk menghentikan ancamannya yang serius? Tentu itu semua mustahil untuk dilakukan.

Kemudian jika pendidikanlah prioritasnya, maka seharusnya kebijakannya juga bisa disamakan dengan kepentingan ekonomi. Karena negara ini masih kalah jauh jika dibanding dengan negara Jerman, Amerika, atau bahkan Negara Asia lainnya. Apalagi dalam situasi saat ini, tentu kualitas pendidikan menurun jauh dari sebelumnya. Jangankan untuk bersaing dengan negara lain, bersaing dengan waktu kemarin sebelum pandemi saja masih jauh.

Seharusnya kedua sektor tersebut harus dijalankan dengan bersama-sama. Karena, selain sebagai bentuk adaptasi atas segala kondisi, keduanya juga bisa membatu Indonesia tetap berkembang. Bahkan, jika keduanya dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin juga jika ekonomi, sosial, dan lain sebagainya juga bisa mengikuti.

Jadi apa pun ketetapannya mungkin memiliki sisi pertimbangan lainnya. Namun, bukankah suatu kejanggalan bagi seorang yang bernalar untuk menghadapi segala keadaan yang menjadi keterbalikan? Jika memang virus ini tidak mau hilang seperti layaknya bekas tancapan paku pada kayu, maka salah satu caranya untuk tetap berkembang dalam pandemi ialah menjalankan aturan yang berlandaskan akal dan hati nurani. Kemudian, saling bekerja sama untuk menjalankan kebijakan yang sudah dikelola. Maka, bukan tidak mungkin jika Indonesia juga bisa menyusul negara adikuasa.