Oleh: Azizah
Aku hidup sebatangkara, di tengah-tengah kota yang terhempit gedung pencakar langit, dinding rumahku terbuat dari kardus lepek, jendela kubuat dengan tutup minimalis yang terbuat dari kain perca, lantai rumahku kuberi alas yang terbuat dari plastik bungkus makanan yang setiap harinya kudapat dari keringatku sendiri, meskipun rumah itu jauh dari kata layak namun aku tetap menikmatinya.
Dari kecil aku dirawat oleh nenekku namun ketika aku berumur 8 tahun dia meninggal, nenek tidak pernah sedikitpun menceritakan dimana ayah dan ibuku atau bahkan keluargaku yang lain. Hidupku sangat suram, jauh berbeda dari anak-anak yang lainnya. Begitulah kelanjutan hidupku ketika nenek pergi meninggalkanku selamanya untuk sendirian.
Aku tidak pernah bergaul dengan anak-anak yang lain, mereka bilang aku aneh karna terlalu sering berbicara sendiri ketika melihat bulan dan bintang, aku aneh karna terlalu tinggi menulis mimpi yang ingin kucapai nantinya, aku aneh karna sering menulis keseharianku dibuku besar yang kutemukan di tong sampah dekat gedung pencakar langit, hampir setiap hari aku menulis dibuku itu dan aku biasa menyebutnya Part of Dream.
Aku memang seakan hidup sendiri karna tak punya keluarga dan teman, tapi yasudahlah Jakarta itu keras jadi ketika aku menjelma menjadi benalu yang hanya diam ditempat maka aku akan tertindas, aku juga tidak perduli ketika mereka mengatakan aku aneh atau mimpiku terlalu tinggi, karna mimpi tidak akan pernah punya batas untuk siapapun.
Aku menjalani semuanya sendiri hingga umurku genap menjadi dewasa, aku melewati semuanya dengan lapang meski badai terus menerus menerjang, semua pekerjaan kulakukan setiap harinya dengan menjelma menjadi 5 profesi sekaligus. Pukul 05:00-07:00 aku menjadi pemulung, pukul 07:00-09:00 aku mengantar koran dari satu kantor hingga ke kantor ke yang lain, pukul 09:00-12:00 aku menjadi tukang pikul barang di pasar, pukul 13.00-14.00 aku menjdi tukang sapu dijalanan, lalu sisanya aku membantu tetanggaku untuk produksi kue di salah satu tokonya diseberang jalan raya.
Cukup berat memang namun aku tidak perduli dengan semua resiko itu, walaupun pada akhirnya aku mengetahui bahwa aku tidak akan pernah menjadi sarjana sama seperti buku yang ku tulis didalamnya, tapi setidaknya aku ingin memulai bisnis saja agar hidupku dekat dengan kata layak.
Setelah usiaku 19 tahun aku mampu membeli rumah sederhana, namun aku berniat menjadikan rumah itu juga sebagai toko kecil nantinya. Semua itu murni dari hasil keringatku sendiri, pekerjaan itu masih kulakukan hingga aku mampu membeli mendapatkan modal yang cukup untuk aku memulai usaha kecilku nantinya, terhitung sekitar 11 tahun aku menjalani kehidupan yang jauh dari kata layak itu.
Umur 19 tahun aku mulai merintis usaha dengan berjualan kue-kue kekinian, aku belajar dari kedai kue ditempat sebelumnya aku bekerja. Aku benar-benar memulai nya dari titik yang paling rendah, mulai dari berjualan keliling, menjual di dekat terminal bus, dan stasiun, hingga didekat kampus seberang jalan raya. Kue yang ku jual lumayan banyak peminatnya kata mereka kue ini enak, meski hanya dijual ber-alaskan rotan yang dipikul di atas kepala.
Sampai suatu hari aku bertemu dengan salah satu dosen muda yang mengajar di kampus dekat aku berjualan, dia menyapaku dengan hangat dan sangat sopan, kukira aku akan diperlakukan dengan tidak baik karena telah berjualan di pinggir jalan kampus, eh ternyata sebaliknya. Dosen itu setiap hari belaku sangat ramah padaku, hingga suatu hari dia membeli beberapa kue yang ku jual
Boleh saya mengenal kamu?
Dengan senang hati pak, saya Jingga
“Saya Arlan, salah satu dosen kesehatan disini, sepertinya kamu masih muda, lalu kamu kenapa nggak kuliah?”
“Iya pak, saat ini umur saya 19 tahun. Dari umur 8 tahun hidup saya jadi suram, saya putus sekolah sejak nenek saya meninggal, sejak itu saya kerja serabutan untuk hidup layak, bisa makan dan bisa punya rumah meskipun sederhana”
“Hebat sekali kamu, lalu dimana orang tua mu?”
“Maaf pak ceritanya sangat panjang hehehee”
“Baiklah saya permisi dulu, tapi kalau saya tawarkan pekerjaan apa kamu mau? kerja kamu cukup bantu didapur toko kue saya di ruko Cempaka putih no.11”
“Sebelumnya maaf pak, kenapa bapak tiba-tiba menawarkan saya bekerja menjadi tukang masak di dapur kue milik bapak? padahal ini pertama kalinya bapak membeli kue saya” (seketika itu dia hanya tersenyum)
“Panggil saja Arlan, karna saya masih umur 25 tahun, ini kartu nama saya, hubungi saya besok selesai kamu berjualan ya Jingga”
Aku sangat bingung dengan sikap dia, dia aneh tapi entah kenapa aku merasa terlindungi di dekatnya, ah sudahlah kau ini berfikir apa Jingga semua hanya akan menjadi harapan yang fana, sejak aku bertemu dengan dia entah mengapa hidupku terlihat berwarna, aku bekerja ditempatnya hingga dia menangkatku menjadi koki utama disana.
Hidupku semakin layak saat itu, namun aku tidak pernah berfikir untuk melanjutkan pedidikan karena waktu SMP aku sudah tidak sekolah lagi. Dia selalu memberi perhatian padaku, mencuri rasa simpatiku menjadi rasa yang tak biasa lagi, dengan tiba-tiba saja aku selalu menuliskan namanya di buku part of dream ku bersama semua khayalan yang sudah kubuat, meski aku yakin semuanya hanya akan menjadi tulisan dan harapan yang takkan pernah terjadi.
Tepat di tanggal 16 Februari 2016 aku genap berumur 20 tahun, dan ternyata semua pegawai toko kue Arlan mengetahuinya termasuk dia, aku disambut oleh ledakan balon ketika aku masuk kedalam toko, semua bernyanyi untukku hingga aku meniupkan lilin di kue yang indah itu, Arlan tersenyum manis mengarah kepadaku, dia begitu tampan, dan sangat bijaksana. ya Tuhan apa aku bisa menjadi bagian hidupnya?
Selesai acara ulang tahunku Arlan mengajakku untuk pergi makan berdua di restoran tengah kota, dan uniknya nama restora itu adalah Jinggas Food Curt
Kenapa kita makan disini pak?
Sudah ku bilang bukan? panggil saja aku Arlan, ayo kita masuk! aku ingin tunjukkan sesuatu untukmu
Aku sangat penasaran, Arlan mengajakku naik ke lantai atas tepatnya di privat room aku semakin bingung disini, ditengah jalan dia berkata
Jingga, apa aku boleh mencintaimu?
Tapi Arlan? apa maksut semua ini?
Apa kamu memperbolehkanku mencintaimu?
Aku tidak pantas bersanding dengan kamu lelaki hebat dan bijaksana yang berpendidikan tinggi, tapi aku juga mencintaimu Arlan
Dari dekat salah satu ruang private room di restoran itu ada wanita cantik yang memanggil Arlan,
Arlan, cepat masuk nak! Ketika aku dan Arlan masuk disana sudah banyak orang, salah satunya adalah neneknya. Jingga kamu cantik sekali nduk ujar nenek Ratna,
ini sebenarnya ada apa nek?
ini hanya makan siang keluarga saja sayang, kamu duduk manis disini saja
sikap satu keluarga ini semakin memperumit teka-teki ku, tempat duduk Arlan dan aku sangat jauh, sampai akhirnya papa Arlan membawa seorang wanita yang lumpuh tidak berdaya, dan papa Arlan langsung mengarahkan dia padaku,
Apa kamu yang namanya Jingga
Iya, aku Jingga, kamu siapa?
Aku Siska, istri Arlan
Aku sangat shock mendengarnya, aku meneteskan air mata kekecewaan dan kebencian didepan Arlan, aku benar-benar membencinya, aku sudah ditipu oleh semua kebaikan yang sudah diberikan Arlan kepadaku, belum ada 15 menit dia mengatakan bahwa dia mencintaiku namun tenyata semua hanya tipuan belaka, aku benar-benar membenci Arlan.
Aku memutuskan pergi dari restoran itu dan menangis sekencang mungkin dirumah, aku membuang semua barang pemberian Arlan, semuanya ku buang lalu kubakar di tong sampah dekat rumah, termasuk catatan rapi yang berisikan harapan yang sudah ku ukir hanya untuk bersamanya. Sekarang yang mampu aku lakukan hanyalah menangis, aku benar-benar benci keadaan ini ya Tuhan.
Keesokan harinya Arlan datang dengan niat untuk menjelaskan semuanya padaku, untuk mendengar namanya saja aku sudah enggan apalagi melihat dia, aku benar-benar tidak mampu Tuhan, aku memilih menelfon Anggi untuk ku mintai tolong menemui Arlan saat ini juga, kontrakannya dekat dengan rumahku, sebelumnya aku sudah menjelaskan pada Anggi bahwa aku akan pergi jauh dari sini.
Anggi menemui Arlan dan membawanya pergi jauh dari rumahku, aku bersiap untuk meninggalkan Jakarta dan memilih untuk pindah ke Bandung, agar hidupku lebih tenang meski aku harus memulainya dari awal lagi, aku tidak perduli, aku benar-benar kecewa dengan keadaan ini. Arlan yang ku fikir dia mampu mengubah hidupku menjadi jauh lebih berwarna malah hanya bisa menghacurkan sejuta dongeng harapan yang sudah kubuat.
Dari sini aku belajar bahwa part of dream yang selalu aku banggakan tidak akan pernah konsisten menjadi kenyataan, aku hanya akan bahagia dengan cara membahagiakan diriku sendiri Tuhan, kelak aku akan kembali ke Jakarta, namun untuk saat ini aku hanya ingin menenangkan diriku sendiri dari berbagai rasa kecewa dan hancur yang bertubi-tubi.