Penulis: Zamzam Qodri
Editor: Sabitha Ayu Nuryani
Seperti yang kukatakan pada tulisan sebelumnya tentang mbahku. Pada akhir bulan Romadhon aku sangat rindu pada mbahku. Dan tulisan ini juga sama, untuk mengenang masa indah dahulu bersama beliau.
Kala itu, aku beranjak hampir dewasa, kira-kira umurku masih 7 tahun. Aku sudah sekolah dan mengaji. Karena ini tulisan fiksi, aku berani menulis bahwa aku menjadi anak terpintar di sekolah dan di tempat mengajiku. Ingat lho ya, ini fiksi, hahaha. Di sekolah, aku lumayan paham semua pelajarannya, kecuali Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Begitu pula di tempat mengajiku, di antara santri-santri yang belajar, akulah yang paling mantap, hehehehe.
Udahlah, biar gak menimbulkan riya yang semakin serius, aku tak mau melanjutkan kehebatanku dulu. Toh itu sangat bertolak belakang dengan diriku yang sekarang. Saya rasa kalimat-kalimat di atas sudah cukup sebagai mewakili dosa riya-ku saat ini. Tapi jika aku menulis fiksi, apakah dosanya juga fiksi, ya? Oh iya, kata Pak Rocky Gerung, fiksi itu ‘kan hal yang membangun imajinasi. Dosa ‘kan juga tidak bisa dinalar, berarti juga fiksi. Ingat, fiksi gak sama dengan fiktif.
Oke, saya lanjutkan. Dengan kehebatanku itu, selain aku tunjukkan kepada orangtuaku, aku juga tunjukkan kepada mbahku. Aku bertausiyah di depan beliau terkait apa yang sudah aku pelajari. Aku bertausiyah tentang Ilmu Pengetahuan Sosial, Agama, Bahasa Daerah, bahkan Pramuka dan Olahraga. Meskipun sebanyak itu aku bertausiyah di depan mbahku, beliau tetap mendengarkan tausiyahku. Ia mendengarkan dengan tersenyum bangga. Setelah aku melihat senyum bangga mbahku itu, aku tak ingin berhenti di situ saja, aku tambah dengan menunjukkan cara baca Al-Qur’anku. Mbahku semakin mengembangkan senyum bangganya padaku. Hingga aku pun capek dan kusudahi dengan kata “sudah.”
Tak sampai di situ saja perjuanganku menunjukkan kehebatanku kepada keluargaku. Aku merasa, pada saat itu aku mulai menceramahi siapa saja yang aku anggap tidak tahu. Tapi mereka tak menggrubrisku. Mereka hanya ingin contekan dariku. Tapi apalah daya, sebagai orang pintar yang dibodohi, aku memberikannya. Di sinilah aku percaya bahwa pintar juga relatif. Dari hal ini, aku anggap mereka bukan sasaranku untuk aku ceramahi. Aku ceramah kepada guruku. Awalnya mereka senang dan bangga, tapi lama-lama mereka bosan dan menyuruhku untuk terus belajar. Dari sinilah aku semakin mengerti jika aku sebenarnya tidak pandai berceramah. Aku pun pasrah.
Dan barakah-nya pasrah, aku diberikan petunjuk yang berupa kesempatan. Pada saat aku salat magrib, imam yang biasa mengimami salat tidak datang. Kejadian itu membuat bingung orang untuk menunjuk orang yang pantas menjadi imam. Nah, pada saat itulah aku maju dan mengatakan kepada mereka bahwa aku yang akan menjadi imam salat. Namun, hasilnya mengecewakan. Orang-orang tak mengizinkan aku menjadi imam salat magrib. Alasannya belum balig dan tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan fasih. Hal itu sangatlah mencekik hatiku. Setelah kejadian itu, aku pun langsung pulang dan tak salat magrib. Bagaimana bisa salat jika dalam keadaan jengkel. Ya, itulah dalihku.
Dengan kejengkelanku itu, aku pulang dengan menutup keras pintu masjid. Saat itu aku memang tak peduli orang akan memarahiku atau tidak. Yang penting aku marah dulu sebelum dimarahi. Begitulah hukum rimba yang aku temui di masjid. Aku pulang dan menceritakannya kepada mbahku di desa. Dengan tenang, mbahku pun juga menenangkan diriku. Dan setelah itulah aku berdialog dengan mbahku.
“Ada masalah apa, Cong?” Mbahku memulai.
“Semua yang aku pelajari ternyata tidak berguna ya, Mbah?”
“Ya berguna, Cong. Asalkan kamu menerapkan dengan baik dan benar.”
“Aku udah menerapkan dengan baik, tapi orang-orang tak mau menerima ilmuku.”
” Udah, udah. Sekarang Mbah tanya, cita-citamu itu sebenarnya apa, sih?”
“Aku ingin menjadi kiai, Mbah, menjadi presiden, menjadi guru, menjadi–”
“Banyak sekali cita-citamu. Apa gak cukup satu aja,” potong mbahku.
“Ya, emang begitu, Mbah. Semua itu buat jaga-jaga, Mbah.”
“Jaga-jaga gimana maksudmu, Cong?”
“Maksudku, jika aku tidak bisa jadi kiai, aku bisa jadi presiden. Jika aku gak jadi presiden ,aku bisa jadi guru, dan seterusnya, Mbah.”
“Aku jadi inget kepada buyutmu, Cong!”
“Emang gimana, Mbah?”
“Dulu buyutmu sama sepertimu. Beliau ingin jadi kepala desa, walikota, gubernur, bahkan presiden dan kiai. Banyak yang ia lakukan untuk mencapai semua itu. Beliau bekerja keras kemudian uangnya ditabung supaya bisa ikut kampanye dan menang. Di antara banyaknya kampanye, beliau hanya menang sekali di tingkat kepala desa. Dan akhirnya beliau berubah pikiran untuk menjadi seorang kiai. Beliau belajar ke sana ke mari dengan sungguh-sungguh. Setelah dirasa cukup, beliau pulang dan langsung membuka tempat ngaji. Tapi tak ada yang datang dan mendaftarkan anaknya ke sana. Akhirnya beliau pun pasrah kepada Allah. Beliau meninggalkan itu semua. Karena beliau keturunan orang biasa di desa. Orangtua beliau hanya seorang petani. Beliau mulai menggarap sawah dan membiarkan semua terjadi. Namun tak disangka, karena keteguhan dan keikhlasannya dalam berjuang tanpa ada ambisi dari nafsu, beliau disukai oleh putri seorang kiai. Dan akhirnya kiai tersebut menikahkan putrinya dengan buyutmu. Dan dengan sendirinya buyutmu juga diakui sebagai kiai.”
“Jadi, jika aku ingin menjadi presiden, aku harus menikah dengan anak presiden? Atau jika aku ingin menjadi kiai, aku harus menikahi putri kiai? Begitu ya, Mbah?” Aku mencoba mengambil hipotesis dari pernyataan mbahku.
“Bukan begitu, Cong. Buyutmu itu hanya beruntung menjadi suami putri kiai. Jangan lihat keberuntungannya. Karena setiap orang diberikan keberuntungan yang berbeda-beda. Tak ada yang menjamin keberuntunganmu sama dengan buyutmu. Buktinya Mbah ini. Mbah ini tidak menikah dengan orang yang terhormat.”
“Tapi ‘kan, Mbah anak seorang putri kiai. ‘Kan kiai itu terhormat? Jadi aku juga titisan kiai dong, Mbah?”
“Hmm… Makanya orang-orang tidak mau menerima ilmumu! Kamu jumawa, sih. Ingat, kamu bukan anak atau turunan orang terhormat. Termasuk kiai.” Mendengar mbahku mengeluarkan kalimat seperti itu, aku sedikit kecewa. Karena aku merasa nasibku sangatlah buruk. Selain itu, aku masih dirundung rasa penasaran. Bagaimana bisa aku bukan titisan kiai sedangkan buyut perempuanku adalah putri kiai? Bagaimana bisa mbahku menyebut dirinya bukan kiai? Tapi, aku tahu jika hal itu dikatakan mbahku agar aku tak jumawa. Aku bisa rendah hati.
Tapi entah mengapa rasa kecewaku tidak hilang meskipun aku dapat mengambil ibrahnya. Aku pun semakin bingung. Pikiranku masih dalam kategori memikirkan yang kuantitas bukan kualitas. Saat itu aku berpikir bahwa bagaimana mau bermanfaat jika tak ada sertifikat dari masyarakat? Tapi kebingungan itu dapat dijawab dengan penuh wibawa oleh mbahku.
“Tapi kamu juga harus ingat, Cong. Memang kamu bukan titisan orang terhormat, tapi kamu titisan orang hebat. Kamu adalah titisan orang bermartabat. Dan kamu adalah titisan ‘pejuang’. Banyak orang yang mempunyai ragam cita-cita. Tapi mereka ingkari tujuan dari cita-cita yang dicapai. Lihat bagaimana banyak pemimpin yang ingkar atas yang mereka pimpin. Petinggi negara yang ingkar kepada tugas negaranya, guru yang ingkar kepada tugas keguruannya, bahkan juga tak sedikit kiai yang ingkar kepada tugas kekiaiannya. Itu semua karena mereka hanya mencita-citakan kedudukan dan mengabaikan tujuan dan tugasnya. Setelah mereka ‘jadi’, mereka tak berjuang untuk mencapai tujuan dari yang mereka cita-citakan. Saat itulah mereka disebut bukan titisan pejuang. Dan jika masih bernasab dengan seorang pejuang, maka mereka memutuskan perjuangan mbah buyutnya sebagai seorang pejuang. Maka dari itu, bercita-citalah satu saja, yaitu menjadi seorang pejuang. Karena jika cita-citamu hanya menjadi seorang pemimpin atau kiai, kau takkan berjuang lagi setelah mendapatkan kedudukanmu. Tetapi jika kamu bercita-cita menjadi pejuang, maka ketika kamu jadi pemimpin, kau akan berjuang lagi untuk memenuhi tanggung jawabmu sebagai pemimpin. Ingat! kamu adalah titisan pejuang. Dan pejuang lebih hebat dari yang terhormat.” Begitu closing statement dari mbahku.