
Sumber: google.com
Penulis: Zamzam Qodri
Editor: Andi Purnomo
Belakangan ini, aku sering menuliskan kisahku dan Mbahku. Karena suasana yang memaksaku untuk rindu kepadanya. Biasanya pertengahan ramadhan, suasana hatiku sangat rindu kepada mbahku. Ya karena apalagi selain karena sudah mendekati idul fitri. Hari di mana aku akan bercengkerama mesra dengan Mbahku. Bahkan, karena sangat rindunya, malam 27 Ramadhan, aku mengemis pada orang tuaku untuk pulang ke Madura. Tapi, biasanya itu percuma saja. Karena di Surabaya malam 27 ada acara Khotmil Qur’an di mushala dekat rumah.
Tentu hal tersebut membuat aku semakin kesal. Karena aku harus menahan kepedihan dengan membiarkan diriku berpura-pura senang bermain dengan anak kota. Sungguh mengesalkan. Memang tidak enak rasanya jika hidup dalam kepura-puraan. Aku tidak senang kepada mereka. Mereka memarginalkan aku, karena aku orang desa atau kampungan. Jika aku melihat mereka saling mencemooh, aku menasihati mereka, tapi mereka malah menghinaku sok alim.
Akhirnya, di kemudian hari aku juga ikut mencemooh, tapi mereka katakan, “Lho, yang alim kok ikut menghina, dosa lho. Udah, kalo alim, alim aja.” Aku hanya bisa meratapi itu dengan gumpalan tangan dan air mata yang tak ingin jatuh. Tapi mereka malah lari.
Selain itu, mereka memperlakukanku bukan sebagai teman mereka. Jika teman dari mereka jatuh, mereka bilang, “Kasihan ya, sini aku tolongin.” Sedangkan giliran aku yang jatuh, bahkan lebih parah dari teman mereka, mereka malah bilang, “Itulah azab orang yang sok alim.” Emang salahku di mana? Sumpah aku blenek dengan mereka. Tapi, meskipun aku sangat tidak menyukai mereka, aku bisa apa. Mau menjauhi mereka? Lalu aku berteman dengan siapa? Abah? Emak? Abi? Aku tak paham bahasa dan gaya mereka. Mereka tidak satu frekuensi denganku. Aku hanya satu frekuensi dengan mbahku! Tapi sayang, jika bulan Ramadhan, aku hanya bisa bertemu dengannya ketika Idul Fitri saja.
Dan ketika lama aku berpuasa baik yang bersifat jasmani, seperti tahan makan dan minum maupun yang bersifat rohani, seperti tahan dengan sikap teman-temanku, malam hari raya pun tiba. Di saat itulah aku dan keluarga menyiapkan sesuatu yang diperlukan untuk dibawa ke Madura. Jam 10 malam pas, aku berangkat ke Madura menaiki kuda modern. Ketika sampai di tujuan, aku melihat wajah mbahku dengan hati yang bahagia. Dia pun bahagia melihatku. Aku pun mencium tangannya dan masuk ke dalam kamar. Meskipun saat itu sudah larut malam, aku tidak mengantuk. Aku tak sabar ingin mendengarkan wejangan Mbahku melalui cerita-ceritanya. Tapi ketika aku ingin menceritakan kisahku, mbah mencegahku karena esok harinya aku harus bangun pagi untuk menunaikan shalat Ied
Begitu sampai pada waktunya, aku langsung pergi menuju tempat mbahku duduk sambil merokok juga ditemani kopi hitamnya, yaitu langgar. Ia langsung tersenyum saat aku menghampirinya.
“Hehehe, iya Mbah lupa janji mbah tadi malam, kamu mau cerita apa?”
Setelah itu, aku pun menceritakan sesuatu yang terjadi kepadaku di Surabaya, sebagaimana yang sudah aku tulis di paragraf sebelumnya. Aku menceritakan dengan penuh rasa hingga mbahku tertawa melihat mulutku sampai seperti dubur ayam yang bergerak. Mbahku pun mulai menampakkan ciri khasnya ketika ingin menanggapi keluh kesahku. Ia pun memberikan wejangan dengan menceritkan kisahnya bersama abahnya dulu.
“Dulu, buyutmu itu pernah memberikan wejangan kepada Mbah. Dulu Mbah waktu masih jaka pernah punya musuh politik. Apa pun yang Mbah katakan, selalu salah. Bahkan yang ada bukti kebenarannya pun dicari kesalahan. Sampai-sampai Mbah pernah mengalami kecelakaan ketika Mbah merantau, orang-orang itu mengatakan kalo Mbah sudah kena azab dari Allah. Tetapi jika teman mereka yang sakit, orang-orang musuh mbah itu mengatakan jika itu adalah ujian yang akan mengangkat derajatnya.”
“Jadi Mbah iri dengan mereka? ”
“Bukannya Mbahmu ini iri kepada mereka, cuman Mbah tidak merasa nyaman ketika Mbah punya musuh, bahkan selicik apa pun mereka. Dulu, Mbah bisa saja menghabisi mereka, bukan karena Mbah takut dilengserkan menjadi aparatur desa, tetapi sudah menyangkut kehormatan Mbah. Ya begitulah Mbah dulu, gengsi Mbah sangat besar. Tetapi abah Mbah memberikan wejangan kepada Mbah bahwa sebaiknya jika Mbah sudah tidak merasa nyaman menjadi aparatur desa, sudahi saja dan mengundurkan diri. Kata buyutmu, ‘Emang tidak gampang menilai manusia, apalagi di dunia politik, sangat rawan sekali. Semutiara apa pun kata-katamu, jika kamu dibenci, tetap saja mereka anggap sampah. Begitu pula sebaliknya, meskipun kata-katamu sampah, akan jadi mutiara jika kamu dicintai. Orang yang mereka yang cintai ketika mendapatkan musibah, mereka katakan ia mendapatkan ujian. Tapi jika yang terkena musibah adalah orang yang mereka benci, mereka akan mengatakan ia terkena azab. Memang terkadang manusia suka menilai dengan nafsunya, ia berlagak seperti tuhan namun hakikatnya hantu’.”
“Jadi teman-temanku di kota itu berlagak tuhan tapi sebenarnya hantu, Mbah?”
“Bisa jadi seperti itu. Tapi jangan katakan kepada mereka kalo mereka hantu, ya, hahahaha. Nanti saat kamu dewasa, bila ada orang yang seperti itu, maka cukup katakan padanya, ‘Ampun tuhan!‘ maka mereka akan sakit hati karena mereka sadar bahwa sebenarnya mereka ‘hantu’.
“Udah sana main, Mbah masih mau nyekar ke makam.”
“Baik, Mbah,” Aku pun pergi bermain dengan teman-teman desaku.