Penulis: Zamzam Qodri

Sumber: Doc pribadi

Entah mengapa, aku rindu dengan mbahku. Mengingat kesederhanaan dan kewibawaannya, aku juga jadi ingat cerita-cerita beliau kepadaku saat aku mau tidur atau saat dijauhi oleh teman-temanku. Tapi, biar hal ini tidak hanya menjadi rindu yang terbuang sia-sia, aku tuliskan saja di sini.

Dulu, teman-temanku kebanyakan orang tuanya pekerja keras di kota metropolitan seperti Surabaya dan Jakarta. Sama seperti abah dan emakku, begitu pula dengan pamanku, mereka memilih tinggal di Surabaya karena beberapa alasan, salah satunya agar tidak riwa-riwi atau pulang-pergi Surabaya–Madura. Hanya saja, setiap hari Minggu mereka pulang ke Madura.

Di Surabaya, aku bergaul dengan banyak anak kota, namun tampilanku seperti anak desa. Ya, bukan seperti lagi, tapi emang anak desa. Di sanalah aku bermain. Tapi sayangnya, anak-anak kota tidak menyukaiku, kata mereka aku sangat udik. Bahkan mereka tak segan-segan menghinaku dengan sebutan ‘orang desa miskin’. Entah mengapa hatiku terasa sakit, tapi aku tidak menangis seperti sakit hatinya para buciners. Aku diajarkan atas nilai luhur budaya Madura, “angoan poteh tolang katembeng pote matah” (mendingan mati daripada menanggung malu) sudah merasuk dalam jiwaku. Ketika ada yang menghinaku seperti itu, langsung aku hajar dia. Tapi di kota tak seseru di desa, jika anak mereka bertengkar, orangtua anak kota akan melerainya dan memarahi anak orang, sedangkan orangtua anak desa, saling melihat anaknya bertengkar dan bertepuk tangan. Atau jika masalahnya serius, orangtua anak desa akan memarahi anaknya sendiri. Tapi mau gimana lagi, aku sudah terlanjur berada di kota. Dan sejak kejadian itulah, teman-temanku tak mau mendekatiku, mereka hanya membicarakan keburukanku. Mau tidak mau, aku kesepian. Aku hanya menjadi bolodewo (teman dewa/tuhan). Setiap hari, aku hanya main sendirian di dalam rumah.

Dan betapa bahagianya, saat hari Minggu datang. Karena aku akan bertemu dengan Mbahku di desa. Aku ceritakan semuanya. Bukan cerita bahagia yang aku berikan, tapi cerita kesusahan. Aku ceritakan semua yang terjadi kepada Mbahku. Namun, Mbahku tidak malah memanjakanku dengan meminta orangtuaku agar tidak membawanya ke Surabaya, justru ia memberikan motivasi yang sangat berkesan hingga saat ini. Motivasinya adalah ceritanya. Ia bercerita:

“Dulu, di suatu kampung ada orang miskin dan orang kaya. Si miskin ini mempunyai anak laki-laki, sedangkan si kaya mempunyai anak perempuan. Ketika itu, si miskin menyuruh anaknya untuk mengantarkan uang senilai 1 sen kepada si kaya. Ia ingin meminjam HP untuk menelepon mbok-nya di desa, tapi dia tidak memiliki HP, maka dari itu ia meminjam HP milik si kaya dengan membayarnya 1 sen. Ketika anak si miskin mengetuk pintu, yang keluar adalah anak perempuan si kaya yang cantik itu. Melihat wanita secantik itu, anak si miskin pun jatuh cinta pada wanita kaya itu. Tapi ia tahu bahwa dirinya tidak akan bisa menikahi perempuan itu. Ya, karena beda kasta.” Mbah mengisap rokoknya.

“Ia juga sama sepertimu, Nak. Teman-temannya menghina dirinya. ‘Mana mungkin orang miskin seperti dia bisa menikahi anak orang kaya? Tapi, ia tetap kuat menerima hinaan itu. Ia ingin hinaan itu menjadi kekuatan dirinya untuk memperbaiki keadaannya. Kamu bisa menebak lanjutannya?” tanya Mbahku ketika ia melihat aku tersenyum sebagai tanda mengerti.

“Iya, Mbah. Aku bisa menebak. Anak si miskin itu akan bekerja keras, merantau, dan sebagainya untuk mewujudkan cita-citanya dan menggagalkan hinaan dari teman-temannya. Ia pun menjadi kaya dan bisa menikahi anak perempuan dari si kaya itu.”

“Hahahaha, kamu kebanyakan lihat sinema TPI (chanel TV dahulu sebelum menjadi MNC TV). Bukan itu lanjutannya. Yang ia lakukan bukanlah bekerja untuk menjadi kaya dan membuktikan kalo dia bisa menikahi anak perempuan kaya itu, tetapi yang ia lakukan adalah belajar. Memang ia keluar rumah, tapi untuk belajar, ia bermain dengan lingkungan yang mengerti apa itu miskin sebenarnya. Ia bergaul dengan orang yang lebih miskin darinya, kampung yang lebih sempit dari kampungnya. Di sanalah ia menemukan eksistensi dan elitnya orang miskin.” Ia mematikan rokoknya yang sudah habis.

“Bagaimana eksistensi dan elitnya orang miskin itu, Mbah?”

“Di lingkungan yang ia tempati untuk belajar–yang mayoritas adalah orang miskin–ia melihat orang miskin yang pantang mengemis belas kasihan orang kaya. Ia melihat orang miskin yang malah membantu orang kaya di saat mereka punya hajat, meskipun orang kaya itu menganggap orang miskin ini bekerja karena ia membayarnya. Tapi yakinlah, mereka (orang miskin) tidak memberikan tarif kepada yang ia bantu. Ia melihat orang miskin yang saling berbagi. Ia melihat orang miskin yang saling mengerti satu sama lain. Ia juga melihat bagaimana orang miskin yang selalu menghargai pemberian orang lain kepada mereka. Itulah yang dianggap sebagai eksistensi dan elitnya orang miskin.

“Melihat itu semua, anak orang miskin itu tahu bahwa bukan hanya orang kaya yang punya eksistensi dengan uang dan barang yang mahal. Orang miskin pun punya eksistensi dan hal yang mahal dari dirinya. Dan setelah itu, ia kembali dengan mindset yang berbeda. Ia pulang dengan hinaan yang sama, ‘Bagaimana, udah kaya? Mimpi kali bisa menikahi anak orang kaya!’ Ia hanya tersenyum dan menjawab, ‘Siapa juga yang mau nikah sama orang kaya seperti dia? Hii, gak level dengan kemiskinan saya.’ Emang hanya orang kaya yang bisa menghina yang miskin? Yang miskin pun bisa menghina si kaya.”

“Hahahaha.” Aku terbahak-bahak mendengarkan cerita Mbahku itu. Lucunya berkelas.

“Semua itu, bisa dilakukan jika orang tahu letak kekayaan pada diri mereka sendiri.” Begitu closing statement dari Mbahku.