sumber: Google

“Walaupun kita mengatakan diri kita sebagai penganut Islam, belum tentu pikiran kita telah berjalan sesuai Islam — …Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak saya yang selalu bertanya tentang Dia” Ahmad Wahib (1942-1973), Pemikir Islam Revolusioner dan Kontroversial

Secoret celoteh yang menghadirkan jutaan abjad.

Satu-satunya tempat paling bebas di alam semesta ini adalah tidak lain, kecuali altar organisasi idealism. karena disanalah seluruh argumen­tasi yang terlontar dari mulut-mulut hasil olahan tekanan batin dan gejolak fikiran bisa terkumpul tumpah ruah hingga menghadirkan gagasan-gagasan baru serta perca­kapan yang bermutu tentang bagai­mana menghasilkan keadilan setara di dalam negara. Seluruh pemikiran yang diungkapkan dalam sebuah organisasi dapat diperdebatkan dan dibantai secara logis rasional, termasuk pikiran tentang surga, alam dan kehidupan. Berbeda jika berada di dalam ruang kelas. Argumentasi yang dipenuhi skeptik dan menjurus ke arah ktitik sangat rawan terkena ‘tanda titik’. Lantaran sudah tersetting kurikulum-kurikulum yang diciptakan golongan anti-kritik yang mengkultuskan kenyamanan konservatif.

Hal tersebut sangat kontradiktif pada jiwanya siswa yang telah di-maha-kan. Manusia yang di pundaknya terdapat tanggung jawab sebagai agen perubahan tidak akan bisa diam mengikuti siklus kehidupan secara monoton. Dalam dimensi fikirannya terdapat kobaran api untuk memberontak sistem yang sudah tertata rapi tersebut. Sebab, bagi manusia yang telah menyandang predikat sekaligus menghayati arti pergerakan tahu persis apa yang abadi dan mustahil. Perubahan dan memakan kepalanya sendiri.

Tan Malaka sudah mengatakan ber­puluh tahun yang lalu di dalam buku yang ia tulis berjudul MADILOG bahwa kemer­dekaan takkan berkibar bila rakyat Indonesia tak menge­depankan akal dalam mengupayakan kecerda­san. Kita tak mampu berdikari bila masih mempercayai mistik dan takhayul, harus ada gerakan total yang menjembatani pikiran menuju tinda­kan sehingga kebijaksanaan bisa menjadi pem­belajaran bagi diri dan orang yang ada disekitar. Memanu­siakan manusia artinya memberikan kebebasan kepada manusia untuk berpikir bebas demi terjadinya den­tuman kebingungan yang mela­hirkan pertanyaan dan solusi yang ideal. Dentuman kebingungan ialah sema­cam kebangkitan dari keterkejutan yang belum pernah kita rasakan sebelum­nya. Misalnya dalam mem­pelajari hal-hal yang baru manusia itu pada umumnya harus tercengang dulu dalam melihat peristiwa baru ia bisa serius secara cepat dengan keter­kejutan dari dentuman kebingu­ngan yang ia alami. Di dalam organisasi itu sering terjadi dan dialektika memberi kegembiraan dalam kelas bahwa tidak ada yang perlu dibawa ngantuk dalam belajar bila terlalu serius.

Kadang-kadang orang-orang yang paling dogmatis sekalipun juga merupakan orang-orang yang paling tidak tahu karena harapan itu telah diberikan sepenuhnya pada teologi dalam harapan “ya sudahlah ngapain berkarya mati-matian kalau ujung-ujungnya masuk neraka”. Cara berpikir buntu seperti itulah yang menyebabkan bangsa kita tertinggal jauh. Urusan surga-neraka ialah urusan keya­kinan, sedang­kan urusan kehidupan dan peradaban adalah bagai­mana manusia berkarya, artinya meng­­gu­nakan akal dan piki­ran untuk berkreasi secara inovatif dengan ideo­logi yang telah diajarkan, seperti pacasila dalam negara indonesia.

Bagi seorang penganut rasiona­lis­me, ukuran kebenaran ialah ke­mustahilan untuk mengingkari dan untuk dipaham­kan yang sebaliknya. Descartes, bapak rasionalisme konti­nen­tal, berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai meto­de deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita.

Keyakinan akan kepastian surga di depan mata sering sekali membuat seseorang malas untuk memikirkan ulang bagaimana sesuatu yang awal­nya ruwet untuk diketahui bisa terjadi dapat dijelaskan secara penalaran empiris. Hi­lang­nya kendali untuk berpikir dan besarnya harapan untuk bersenang-senang adalah faktor utama dari timbulnya rasa paling suci. Ketika seseorang tidak ingin disaingi secara akal maka timbullah sikap pura-pura sholeh agar tidak banyak manusia yang berpikir. Sangat sering kita perhatikan hal tersebut dan tak jarang memang suatu pengalihan krea­ti­vitas itu muncul karena tidak ingin dilampaui, sifat tidak ingin disaingi itu merupakan sikap paling serakah, dan merasa diri sendiri ba­gai­kan Tuhan. Seseorang yang tidak ingin disaingi dan menutupi dirinya dalam dialektika maka lebih tepat ia sebagai pemuka agama. Bagi akade­misi tidak bisa hanya sekedar me­ngajar tanpa terbuka untuk dikritik.

Mengingat apa yang dikatakan filsuf Al-Ghazali bahwa takkan ada gunanya bila mencari ilmu hanya un­tuk sekedar mencari pamor agar mera­sa paling benar. Moral mem­bawa ma­­nusia menunggu yang terjadi di depan sementara penge­tahuan mem­bawa manusia mencari dasar segala sesuatu kenapa bisa terjadi dari be­lakang yaitu sejarah. Masa depan ti­dak akan pernah kita tahu dengan real tanpa adanya per­ca­kapan ide-ide dan diskusi untuk mendapatkan pe­ngeta­huan baru. Dalam 20 sampai 30 tahun kedepan bukan teo­logi yang menjadi peran besar melainkan kecerdasan berpikir dalam mencipta yang menjadi tujuan utama. Manusia harus bisa terlepas dari doktrinasi, keluar dari kungkungan teologis yang mengekang kebebasan berpikir, tidak tertekan dengan ketakutan akan neraka yang menye­babkan beban hasrat semakin besar dan ini memang harus jadi perhatian bagi akademisi untuk segera mencari gejala secara radikal.

Sehingga kemanusiaan itu bisa bebas mencari jati dirinya sesuai dengan bagaimana ia renungkan kehidupan itu secara logis. Bila kita berani sedikit untuk mengin­ter­pretasi suatu pertanyaan jika berjumpa dengan Tuhan maka pertanyaan yang diajukan Tuhan bukan lagi kenapa ada dosa melainkan kenapa otak tidak dipergunakan sebaik mungkin.

Misalnya, Hak Asasi binatang untuk hidup dan bebas di alam sudah menjadi prioritas para pengajar dan hewan serta tumbuh-tumbuhan memiliki perlindungan hukum, baik itu pohon, bunga dan lainnya yang termasuk dalam kategori alam juga memiliki hak perlindungan hukum.

Pertanggung jawaban secara rasional di akhirat nanti belum pernah kita pertanyakan secara empiris demi mene­gakkan kemanusiaan, misalnya kenapa manusia lebih me­nge­jar pendidikan demi lahirnya pengetahuan baru daripada memupuk pahala demi kebahagiaan surga.

Tentu kita tak mempermasalahkan manusia pertama dan justru bersyukur menghargai iblis sebagai senior karena ia lebih dahulu diciptakan sebagai manusia. Tentu manusia bebas dan memiliki kebebasan untuk berpikir secara eksistensialisme sebagaimana Dostoyevsky, Sartre, Kierkegaard dan filsuf eksistensialisme lainnya dengan membawa manusia untuk keluar dari doktrinasi.

Inter­pretasi melahirkan cara pandang yang baru, memung­kinkan kita untuk merefleksi lebih dalam diluar pemaha­man yang telah kita pelajari jauh dari tahun yang lalu. Itu makanya sebutan bergulat dalam diri tanpa akhir yang dijuluki pada seluruh filsuf juga akan menjadi pertimbangan bagi kita untuk mencintai filsafat dan mulai mempelajarinya.

Iblis misalnya sebagaimana pada umumnya kita ditekan­kan untuk memusuhi sebenarnya akan terasa menjanggal. Harus ada rasa saling menghormati yaitu dengan menghargai, hargailah ia iblis karena dia yang pa­ling utama terlahir. Ibarat antara senior dan junior di da­lam kampus misalnya, tidak mungkin senior meng­hormati yang junior akan jadi timbul yang namanya pemberontakan. Permasalahan kedaruratan bangsa tidak bisa disele­sai­kan hanya dengan sekedar memperbanyak doa melainkan diskusi analisa sosial secara bersama tanpa membedakan siapa yang besar pahalanya karena sering terlihat rajin ibadah.

Dengan mengedepankan toleransi, dan Toleransi harus berpihak kepada yang tidak beragama bukan hanya untuk yang beragama sehingga menjadikan warga negara yang baik dengan saling menjaga perbedaan tanpa terpancing oleh persaingan berupa ingin cepat-cepat masuk surga.

FAUZI “SAA 18″