sumber: Google

Benar berarti sesuai sebagaimana adanya (seharusnya). Benar yang sejati adalah semata-mata hanya milik Allah tidak ada yang lain kecuali Allah, karena Allah yang mengerti semua. Ibarat wayang, tuhan berposisi sebagai dalang dibalik permainan drama wayang tersebut. Benarnya diri sendiri adalah benar menurut prespektif diri sendiri, seperti halnya menentukan wanita yang cantik itu bagaimana. Benarnya orang banyak adalah kebenaran yang disepakati oleh banyak orang seperti Pancasila menjadi dasar pondasi masyarakat indonesia.

Akhir-akhir ini orang-orang tidak mengerti bagaimana mengusulkan kebenarannya sendiri kepada media massa. kebanyakan  menganggap pendapatnya benar dan tidak mau dibantah oleh orang lain, kemudian yang terjadi adalah orang saling menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya, saling mencaci , saling membenci dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut yang menjadi manusia indonesia tidak bisa berkembang maju dengan cepat seperti manusia bangsa lainnya. Begitu juga yang terjadi masalah tentang periwayat hadis-hadis yang terjadi pada umat islam yang saling menyalahkan tentang periwayatnya. Terjadi kebingungan pada masyarakat awam untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Padahal kebenaran (sejati) itu tidak ada dikehidupan masyarakat, yang bisa dilakukan manusia itu hanya sebatas prasangka atau dhonny untuk sebisa mungkin menuju kebenaran.  Suara kokok ayam versi orang Madura itu “kukurunuk“, orang Sunda “kongkorongkong“, orang Jawa “kukuruyuk“. Yang benar yang mana? semuanya salah. Yang benar adalah taruh ayamnya di tengah ketiga orang tadi dan sama-sama mendengar suara kokok ayamnya.

Jarak antara kokok ayam dengan kita menirukan suara kokoknya itu namanya tafsir. Tafsir itu melahirkan madzhab dan pengelompokan-pengelompokan. Itu karena pendengarannya berbeda terhadap suara kokok ayam tersebut.

Kita harus saling menyadari bahwa yang benar itu ayamnya bukan orang yang mendengar suara ayamnya. Antara tafsir ‘kukuruyuk’, ‘kukurunuk‘ dan ‘kongkorongkong‘ harus saling menyadari kelemahan masing-masing sehingga tercipta toleransi. Kalau benarnya sendiri yang dianggap paling benar, egois atau egosentris dengan tafsirnya sendiri maka akan terjadi bentrok satu sama lain. Akhirnya orang tidak memikirkan kemajuan bangsa kalau masih pendapatnya sendiri yang harus dianggap paling benar.

Maka sebenarnya tidak ada tafsir yang betul betul benar atau benar-benar betul, “nek wong Jowo, bener bener pener”. Anda boleh menafsirkan menurut pikiranmu yang penting itu membuatmu menjadi lebih dekat, lebih cinta pada agama dan Tuhanmu. Dan tentu saja tidak menimbulkan kemudharatan umat.

Seharusnya manusia saat ini harus berpandai-pandail dalam membedakan mana agama, mana terjemahan syariatnya, mana fiqihnya. Fiqih pun banyak versinya, fiqih A, fiqih B, dst. Tapi tetap default-nya adalah Al Qur’an. Sedangkan hadits itu diidentifikasi, dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad.

Yang terjadi adalah hadits itu berdasar katanya, tidak berdaulat pada akal sehatnya. Katanya ulama itu, perawi itu. Ada yang lulus, ada yang tidak. Jumlahnya dua juta dua ratus hadits, yang lulus di bawah seratus ribu. Itu pun belum tentu lulus. Kalau kira-kira tidak masuk akal, buang saja, hanya Al Qur’an yang dipakai.

Maka hadits pun harus diverifikasi. Apalagi zaman dulu tidak ada alat perekam. Jadi kalimatnya tidak sama persis dengan yang tercantum di kitab hadits. Hanya Al Qur-an yang kalimatnya sama persis dengan apa yang difirmankan oleh Allah dan tida mungkin bisa dimanipulasi.

Di wilayah hukum, harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Agama menuntun kita dengan menunjukkan betapa kayanya dialektika antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan), Thariq (cara menempuh jalan) dan Shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan).Itulah “kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”, “hikmat kebijaksanaan”.

Jadi, kesimpulannya adalah kebenaran itu tidak terletak pada siapapun orangnya. Kecuali pada keputusan terakhirnya masing-masing. Karena itu nanti yang dihisab oleh Allah, sebagaimana orang tersebut bijak dalam bertindak. Siapapun orangnya boleh mendengar apa pun, boleh menafsirkan seperti apa pun, boleh melakukan apa pun yang sudah menadi keputusannya tersebut. Yang terpenting adalah manusia harus berdaulat pada pemikirannya sendiri untuk melakukan tindakan apa yang sudah menjadi jalannya sendiri. Asalkan mereka harus bijaksana untuk menyikapi masalah, membuat keputusan dan sebagainya.

 

balya