Berhati-hatilah dalam berekspresi, dan berhati-hati pulalah dalam menanggapinya. Karena pada hakikatnya, manusia terbatas dalam memahami suatu hal, terlebih tentang hati manusia lainnya.

Google.com

Kata konde saat ini menjadi lebih populer sejak bu Sukmawati membacakan sebuah Puisi berjudul Ibu Indonesia di acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week. Jika kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konde adalah sebuah gelung rambut, sanggul, dan kundai. Konde menjadi sangat seksi ketika disandingkan dengan cadar, pun suara kidung yang disandingkan dengan suara adzan.

Berbicara konde, kita akan terus terngiang sosok bu Sukmawati, seorang muslimah yang juga merupakan anak dari Presiden pertama Repulik Indonesia ini. Banyak orang mengecam ketidaksopanan Bu Sukmawati dalam memberi perandaian-perbandingan antara adzan dan kidung, antara cadar dan konde. Menurut penulis tak ada yang harus diperselisihkan dalam kedua perandaian-perbandingan itu. Tapi sebelum penulis mencurahkan beberapa kata dalam menanggapi puisinya, akan penulis tampilkan sajak puisinya.

//Puisi bu Sukmawati//

Ibu Indonesia

Aku tak tahu Syariat Islam

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah

Lebih cantik dari cadar dirimu

Gerai tekukan rambutnya suci

Sesuci kain pembungkus ujudmu

Rasa ciptanya sangatlah beraneka

Menyatu dengan kodrat alam sekitar

Jari jemarinya berbau getah hutan

Peluh tersentuh angin laut

Lihatlah ibu Indonesia

Saat penglihatanmu semakin asing

Supaya kau dapat mengingat

Kecantikan asli dari bangsamu

Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif

Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia

Aku tak tahu syariat Islam

Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok

Lebih merdu dari alunan azan mu

Gemulai gerak tarinya adalah ibadah

Semurni irama puja kepada Illahi

Nafas doanya berpadu cipta

Helai demi helai benang tertenun

Lelehan demi lelehan damar mengalun

Canting menggores ayat ayat alam surgawi

Pandanglah Ibu Indonesia

Saat pandanganmu semakin pudar

Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu

Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.

//**

Berbicara masalah suara kidung yang lebih elok dari suara adzan, memiliki beberapa penafsiran. Sang penyair mungkin memiliki pesan yang berbeda dari pesan yag ditangkap oleh pembaca. Dalam dunia sastra, ini menjadi hal yang lumrah. karena esensinya, hanya penyairlah yang dirasa mengerti akan puisi/syairnya. Maka, langkah awal ketika kita temui puisi yang nyleneh adalah mengklarifikasinya pada penyair maksud dituliskannya diksi yang seperti itu.

Lebih jauh, penulis pernah mendengar sebuah kisah kurang lebihnya, terdapat seorang pemuda yang hidup dalam lingkungan non-muslim. Dia memiliki niatan suci, yaitu ingin membuat orang-orang non-muslim yang ada di lingkungan itu berbondong-bondong masuk Islam karena adzan yang dikumandangkannya. Ia terinspirasi pada sosok Bilal yang mampu membuat orang-orang kagum dengan suara adzannya. Lalu, pemuda itu memulai adzannya dimana kebetulan di lingkungan itu, hanya memiliki sebuah mushalla. Namun sayangnya, suara pemuda itu sangat tidak nyaman untuk didengar. Lantas, datang seorang bapak memperingatkan, “Nak, maaf lebih baik berilah kesempatan pada temanmu yang lebih baik suaranya, agar hati non-muslim pun terenyuh mendengar adzan kita.” Tapi pemuda ini tak mendengarkan nasehat bapak itu, ia terus merasa yakin bahwa suaranya merdu dan akan membuat non-muslim masuk Islam.

Suatu hari, saat pemuda itu mengumandangkan adzan kembali, seorang non-muslim bertanya pada orang yang berjalan menuju musalla. “Suara apa itu? dulu saya mendengar suara merdu dari musalla itu dan berniat belajar karenanya, tapi ketika mendengar suara cempreng dari arah musalla itu, saya merasa tak ada yang merasuk pada hati ini.”

Dari cerita itu, penulis simpulkan bahwa memang suara merdu dalam mengumandangkan ajakan Shalat itu sangat dianjurkan. Selain karena mempengaruhi hati, suara adzan yang merdu juga merupakan salah satu bentuk syiar Islam. Maka, jika kita kaitkan dalam puisi bu Sukma, beliau mungkin merasa bahwa adzan yang berkumandang di speaker-speaker masjid harusnya lebih merdu dari suara kidung.

Pun begitu, mengenai cadar. Jangan sampai kita yang bercadar tidak memiliki tingkah laku yang lemah-lembut. Ibu pertiwi yang berkonde, jelas memiliki sikap lemah-lembut pada sesama, dan begitupun orang yang bercadar juga memiliki sikap yang lemah lembut pada sesama. Tidak layak seorang yang bercadar, meneriaki orang lain dengan perkataan dusta, kotor, dan tak beradap. Na’udzubillah. Saya yakin Muslimah yang bercadar jauh lebih lembut hatinya. Buktikan itu.

Puncaknya, penulis hanya ingin menyampaikan sebuah bait dari puisi Bu Sukma yang penulis rasa sangat disayangkan, yaitu  Ibu Indonesia, Aku tak tahu Syariat Islam. Bait ini sungguh sangat memiriskan hati. Menurut penulis bait adalah bait pemantik kontroversi itu sendiri. Seakan penyair (maaf) sangat naif sekali. Padahal kita tahu, bahwa tidak mungkin Sosok Soekarno tidak mengajarkan Syariat Islam pada anaknya, ini sebagaimana yang dijelaskan kakak Bu Sukamawati, Guntur Soekarnoputra. “Sebagai anak tertua, saya saksi hidup, bahwa seluruh anak Soekarno dididik oleh Bung Karno dan ibu Fatmawati Sukarno sesuai ajaran Islam. Kami diajarkan sariat Islam dan Bung Karno pun menjalankan semua rukun Islam termasuk menunaikan ibadah haji.” (BangkaTribunNews.com/ Editor: Iwan Satriawan)

Akhirnya, penulis ingin menutup tulisan ini dengan sebuah ungkapan, setiap apa yang terjadi pada lingkungan kita hendak ambillah hikmahnya, dan jadikan sebuah pembelajaran. Ya, Belajar dari permasalahan Konde yang kontroversial. Berhati-hatilah dalam berekspresi, dan berhati-hati pulalah dalam menanggapinya. Karena pada hakikatnya, manusia terbatas dalam memahami suatu hal, terlebih tentang hati manusia lainnya.

 

Penulis : Ulya N Rahmah