Oleh: Nurul Fadia
Pagi itu, aku baru saja pulang dari sekolah yang melelahkan. Tiba-tiba terdengar bunyi pecahan gelas dan keributan. Aku tidak terkejut karena sudah terbiasa dengan adegan seperti itu. Kupasang headset dan kuputar musik sekeras mungkin dan berjalan melewati ayah dan ibuku yang sedang bertengkar hebat. Adikku yang masih berumur 5 tahun berlari menghampiriku dan berteriak, “Kak Dea!” Aku melihat pergerakan bibirnya meski tak mendengar suaranya dengan jelas dan kemudian memelukku dengan mimik wajah ketakutan. Kugendong dia menaiki anak tangga menuju kamarku.
“Kak, kenapa ibu dan ayah selalu bertengkar?”
Aku hanya tersenyum dan menjawab, “Setelah dewasa nanti kamu akan mengerti.” Dan kemudian dia merengek, “Ara tidak mau menjadi dewasa. Ara takut ketika ara besar nanti akan bertengkar seperti ayah dan ibu.” Kupeluk adik kecilku itu dan berkata, “Sini tidur sama Kak Dea.”
Dia menunjukkan wajah lucunya dan berkata, “Ara mau es krim, Ara juga mau permen, Ara gak mau tidur kalau Kak Dea gak mau membelikan itu semua.” Aku pun mengiakan permintaannya. Mengajaknya mengelilingi gelapnya malam yang sunyi dan berhenti di kafe untuk membeli segelas kopi. Seandainya aku tahu semuanya akan berakhir begini, seandainya aku tahu semua ini berawal dari kejadian waktu itu, seandainya aku tahu jika ke depannya akan menjadi seperti ini, takkan kubiarkan semua ini terjadi dan aku tidak akan kehilangan segalanya. Tidak akan pernah, aku diselimuti rasa penyesalan di sisa hidup ini.
Enam tahun kemudian...
Akhir-akhir ini sering terjadi kasus pembunuhan, penculikan, dan perampokan. Bahkan, semua media membahas masalah ini. Aku hanya mendengarkan headset dan menaiki bus untuk pergi menuju makam adikku yang meninggal 6 tahun yang lalu. Sesampainya di makam adikku, kupandang fotonya yang menempel di makamnya. Aku masih ingat kejadian 6 tahun yang lalu itu. Bagaimana tidak, bahkan aku menyaksikan sendiri bagaimana lelaki paruh baya itu membunuh adikku tanpa belas kasihan.
Malam itu, ketika adikku memintaku untuk membelikannya es krim dan permen, kuajak dia menyusuri gelapnya malam di lorong-lorong sempit perkotaan. Tiba-tiba aku mendapat telepon dari Ellis untuk menemuinya segera. Kusuruh adikku menunggu di samping jalan. “Ara, tunggu di sini sebentar, ya. Kakak mau membeli sesuatu sebentar.” Dan, aku segera berlari menemui Ellis yang sedang berduduk santai dengan temannya di restoran itu.
Aku berjalan perlahan untuk menemuinya. “Halo, Dea?” Mereka tertawa terbahak-bahak. ”Come here?” ucap Ellis yang membuat langkah kakiku gemetar. “Sudah makan?” tanyanya santai yang kujawab dengan anggukan.
“Oh, tadinya aku mau mengajakmu makan Bersama, tapi karena kamu menolaknya, never mind, akan kubungkuskan untukmu makanan dan minuman. Mungkin kamu merasa malu makan bersama kami?” ucapnya sambil tertawa. Aku tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba menjadi baik. Ini pasti jebakan. Dan mereka memberikanku sebungkus makanan dan segelas minuman. Mereka juga merangkulku keluar dari restoran itu dan membawaku ke lorong yang sepi dan sunyi. Aku sudah merasakannya bahwa mereka akan berniat buruk padaku. “Kenapa wajahmu terlihat begitu ketakutan? Apa kita terlihat seperti orang jahat?” ucapnya sambil tertawa. “Tenang, hari ini ulang tahunmu, ‘kan? Aku akan berbuat baik padamu dan juga sahabat culunmu si Tika itu.” ucapnya dengan tersenyum sinis.
“Makan dan minumlah ini. Sebelum kami berubah pikiran.” ucapnya dengan menjulurkan makanan dan minuman yang tadi mereka bungkus. Aku pun hanya melihatnya dan mereka menatapku tajam yang membuatku memakan makanan itu. Setelah kubuka, ternyata berisi ayam lada hitam yang enak dan minuman boba yang enak juga. Aku pun menikmati makanan itu dengan lahap dan sesekali minum namun tiba-tiba aku melihat bulu warna putih di bawah ayam lada hitam dan setelah aku lihat ternyata itu bangkai tikus yang membuatku mual dan memuntahkan makanan yang aku makan. Aku meminum minumanku hingga habis dan betapa terkejutnya isi dari minumanku adalah kecoa mati.
Mereka tertawa puas, sedangkan aku berusaha memuntahkan semua yang aku makan. Mereka kemudian berkata, “Apa kamu benar-benar berpikir kami akan berbaik hati padamu? Hahaha, lucu sekali kamu. Baiklah, bagaimana jika kita upload saja video ini? Hahaha. Aku cukup puas hari ini dan tidak akan menyentuhmu, jadi berterima kasihlah kepadaku.” Aku hanya diam tak menjawab. “Tuli? Atau bisu? Aku menyuruhmu bilang terima kasih!” bentaknya, dan kemudian aku bangun, “Apa kamu gila?! Setelah apa yang kamu lakukan padauk, kamu berharap aku mengucapkan terima kasih? Oh, kamu tolol atau bego?! Bahkan orang gila pun tidak mau melakukan itu! Bodoh!” ucapku kesal.
“Oh, hahaha, sekarang si Brengsek ini udah berani melawan, ya! Guys, kalian tahu apa yang harus kalian lakukan?”
Dan kemudian mereka menghampiriku. Aku berjalan mundur perlahan dan mereka mulai menyiksaku seperti biasanya di sekolah. Itu alasan mengapa aku pernah bilang sekolah itu melelahkan di mana murid di-bully, teman tak peduli, dan guru yang hanya mau gaji. Sekolah adalah neraka kedua setelah rumahku. Dan mereka pun pergi meninggalkanku setelah apa yang mereka lakukan. Aku mengusap air mataku sambil berlari menghampiri adikku yang menungguku di seberang jalan.
Namun, dia sedang bersama dua orang laki-laki paruh baya. Ketika aku mau menghampirinya, tiba-tiba saja salah satu lelaki paruh baya itu menusuk adikku dengan pisau, dan bukan hanya sekali namun berkali-kali. Aku terkejut dan tak bisa berkata apa pun. Aku ingin berteriak sekeras mungkin, namun kepada siapa aku berteriak sementara jalan begitu sepi?
Mereka tak hanya berhenti di situ, kedua lelaki paruh baya itu juga menyeret adikku ke tengah jalan dan mengendarai mobilnya untuk menindas mayat adikku yang malang. Aku menangis dan menjerit tanpa mengeluarkan suara. Rasanya menyakitkan, bukan, ketika harus melihat satu-satunya orang yang disayang mati mengenaskan, sedangkan raga ini tak mampu berbuat apa-apa? Aku mengingat pelat nomor mobil itu setelah mereka melarikan diri. Kuhampiri mayat adikku yang entah tak lagi berbentuk seperti tubuh manusia. Bagaimana bisa mereka tega melakukan ini pada anak kecil berusia 5 tahun?
Dan seperti itulah kejadian berlalu selama 3 tahun berturut-turut. Aku yang di-bully, adikku yang terbunuh, sahabatku yang bunuh diri, dan keluargaku yang selalu bertengkar tanpa henti. Sampai akhirnya aku berani mengambil suatu langkah yang bagiku akan mengubah segalanya termasuk caraku menikmati hidup di dunia. Begitulah dunia berjalan, roda berputar. Hidup itu perjuangan, dan jika tak mau berjuang, maka jangan hidup; adalah kata terakhir nenek yang aku dengar sebelum ia meninggal.
***
Pagi yang cerah untuk memulai tahun pertama sekolah di SMA baru. Setelah banyak kejadian di SMP yang menyulitkan hidupku itu, aku memilih sekolah SMA yang cukup jauh dari rumah dan sekolah lamaku. Aku bekerja paruh waktu untuk membiayai sekolahku. Sebelum memasuki sekolah baruku, aku juga menyiapkan diri dengan mempelajari sedikit ilmu bela diri.
Hari pertama dimulai dengan cukup baik, tidak ada gangguan seperti di sekolahku dulu. Aku juga memiliki beberapa teman yang baik. Mereka sering mengajakku makan di kantin dan mengobrol di jam istirahat.
Sebulan lamanya sekolah terasa menyenangkan sebelum ada kejadian yang janggal di sekolahku akhir-akhir ini. Banyak siswa yang keluar dari sekolah tersebut karena beberapa siswa ditemukan tewas tak wajar. Salah satunya, ada teman baikku yang meninggal dalam keadaan bagian tubuh yang terpisah. Beberapa hari kemudian, aku juga sering mendapat telepon dari Tika yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku tahu, pasti ada orang lain yang mengatasnamakan Tika untuk menerorku. Atau jangan-jangan itu Ellis dan teman-temannya.
Aku mendatangi rumah Ellis yang besar dan megah, namun tak ada seorang pun di sana. Kutanyai tetangganya, namun kabarnya Ellis meninggal beberapa hari yang lalu, dan rumahnya dijual karena ayahnya menghilang sementara ibunya depresi dan gila. Aku juga mendatangi teman-temannya, namun kabarnya teman-temannya juga meninggal dalam keadaan mengenaskan. Lalu siapa jika bukan mereka yang menerorku dengan ponsel milik Tika? Apakah keluarganya? Tapi itu tidak mungkin, mereka sudah pergi beberapa tahun yang lalu dan belum kembali. Apa mungkin orang yang sudah meninggal dan hidup kembali?
Beberapa saat kemudian, aku kembali mendapat telepon dari Tika. Setelah kuangkat, hanya ada suara tangisan wanita seperti Tika. Aku hanya mendengarkan suaranya tanpa mengatakan apa pun. Tiba-tiba seseorang memukulku dengan keras dari belakang hingga membuatku pingsan.
***
Aku tak tahu aku berada di mana. Semuanya terlihat begitu gelap dan aku terikat erat tak bisa bergerak. Aku berteriak, “Halo? Ada orang? Tolong aku,” tapi sepertinya sia-sia, tak ada jawaban apa pun. Aku berusaha melepaskan ikatan ini namun beberapa kali gagal.
Terdengar suara langkah kaki dan aku berteriak, “Siapa itu? Tolong, ada orang di sini. Tolong!” Suara langkah kaki itu terhenti. Aku terus saja berteriak berharap orang itu mendengarku namun tidak ada lagi suara langkah kaki. Itu membuatku takut. “Siapa itu? Halo? Kumohon bantu aku…”
Cettarrr! Kaca jendela pecah dan seseorang melompat masuk. “Aku di sini! Tolong!” teriakku. Dia berjalan menuju arahku, wajahnya tak terlihat jelas sebelum dia menghidupkan lampu ruangan itu. Kini aku melihat dia dengan jelas, bukan hanya dia tapi seisi ruangan ini, aku melihatnya dengan jelas. “Aaaaaaaaaaaahhhh!!” teriakku ketakutan. “Apa yang kamu lakukan?? Kumohon lepaskan aku, jangan sakiti aku, kenapa kamu melakukan ini padaku?” ucapku dengan gemetar. Dia tersenyum sinis mengingatkanku pada seseorang.
“Apa mereka juga memiliki kesalahan padaku? Tentu saja tidak. Hahaha, aku hanya ingin bersenang-senang saja sebentar denganmu.” Kemudian, dia mengeluarkan pisau dari saku bajunya.
“Apa kau juga akan menggantungku seperti mereka? Tapi mengapa? Apa salahku?” ucapku ketakutan. “Karena kamu adalah orang yang paling aku benci. Sama seperti pelayan di rumah ini, aku membenci siapa saja yang tidak melayani orang yang kusayang dengan baik.” ucapnya santai sambil menggosokkan jarinya pada pisau itu.
“Jadi, kau yang membunuh semua pelayan di sini?” tanyaku gemetar.
“Bukan membunuh, hanya bersenang sebentar. Dengan cara mencincang mereka hidup-hidup, hahaha, suara teriakan mereka adalah yang paling aku suka. Suara teriakan ketakutan, kesakitan, dan kesedihan. Aku suka itu semua. Hahaha.”
“Apa mungkin kamu juga yang menerorku atas nama Tika?”
“Haha, siapa dia? Apa dia gadis yang bunuh diri karna Ellis? Seharusnya kau juga menyusulnya ke Neraka saat itu juga, bukannya hidup dan berkeliaran seperti anjing jalanan.”
Dan aku pun berhasil melepaskan tali tanganku dan menggenggam kaca yang tajam, lalu kutusuk dirinya, namun sialnya wanita gila itu menggenggam kaca itu dengan tangan yang penuh darah. “Kau mau menghabisiku? Cerita ini tak berakhir dengan cepat.”
Dengan tertawa sinis, aku pun mendorongnya dan mencoba untuk melarikan diri darinya melewati kaca jendela yang pecah tadi. Aku terus berlari mencari jalan keluar dari sini. Namun, rumah ini cukup besar dan megah, aku lelah mencari jalan keluar yang belum kunjung kutemui. Aku merasa lelah dan istirahat sejenak dengan bersembunyi.
Wanita gila itu terus saja tertawa keras sambil menyebut namaku. Aku tak bergerak di dalam lemari sebuah ruangan yang gelap. Tak lama dari itu, kudengar suara teriakan yang entah siapa itu, tapi suara itu terdengar cukup familiar. Kuintip dari lubang lemari dan ternyata itu adalah suara Bagas yang sedang terikat penuh darah. Bagas adalah lelaki tampan di kelasku dulu. Jika tak salah, dia pernah terlibat cinta dengan Ellis beberapa bulan lalu sebelum Ellis meninggal. Kulihat wanita gila itu memegang silet kecil yang cukup tajam untuk menggores kulit seseorang. Kemudian, wanita gila itu melepaskan kuku jari tangan hingga kaki Bagas dengan kondisi tubuh terbalik sambil tergantung. Bagas menjerit kesakitan. Jelas itu membuatku merinding dan ketakutan.
Tak berhenti di situ, wanita itu juga memotong jarinya satu per satu dan merobek kulitnya hingga ruangan itu penuh darah yang terus mengalir ke depan lemari tempatku bersembunyi. Wanita itu melihat ke arahku dan perlahan melangkah ke arahku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak merasa takut. Ketika wanita itu tepat berada di hadapan lemari, dia mulai berjongkok dan menyentuh darah Bagas yang mengalir kemudian menjilatnya. Itu membuatku ingin muntah rasanya.
Wanita itu pun pergi dari ruangan ini. Kini aku menyadari, aku tidak akan bisa keluar dengan aman dari sini hingga aku membunuh wanita gila itu. Aku pun pergi ke dapur untuk mengambil pisau tapi wanita gila itu tiba-tiba datang dan menusukku beberapa kali di bagian perut hingga darahku memenuhi wajahnya. Tak sampai di situ, wanita gila itu juga menyeretku dengan menarik rambutku, menaiki tangga hingga aku tak sadarkan diri.
Kemudian saat aku terbangun, aku sudah berada di ruangan yang gelap tanpa cahaya. Mungkin aku sudah mati dan terkubur dalam tanah, namun apa yang diperbuat wanita itu padaku? Dan lampu menyala, kulihat wanita itu memegang kayu yang penuh dengan paku. “Kenapa kau tidak langsung membunuhku saja?? Kenapa kamu menyiksaku seperti ini!!! Kenapa!!??”
“Karena membunuh tanpa menyiksa itu kurang menyenangkan, hahahaha!!!!”
Aku berjalan mundur. “Heh, pantas saja Ellis seperti babi, ternyata dia dibesarkan oleh babi!!!” teriakku lantang.
“Cukup!! Jangan kamu sebut-sebut dia lagi!! Dia sudah meninggal terbunuh!!! Brengsek! Sialan!” teriaknya sembari tertawa dan menangis.
“Jangan bilang, kamu yang membunuhnya?” tanyaku ragu.
“Kenapa??? Aku berniat membunuh ayahnya! Aku juga berniat membuat ibunya gila! Tapi, bukan aku yang membunuh Ellis!” ucapnya sambil menangis.
“Tapi, kenapa kamu melakukan itu? Sedangkan mereka adalah majikanmu?” ucapku.
“Majikan? Seharusnya aku yang majikan di sini. Ellis anakku dan semua harta ini milikku, yang kutitipkan kepada mereka sebelum aku berangkat ke luar negri, namun mereka memutus rem mobil yang akan kukendarai sehingga membuatku tertabrak dan hampir mati. Beruntung, seseorang menyelamatkanku meski kondisi wajahku hancur karena masuk jurang yang penuh dengan duri. Kupikir mereka menyelamatkanku dengan tulus namun aku salah, mereka hanya ingin melampiaskan kebencian mereka dengan meyiksaku terus-menerus. Orang-orang psikopat itu terus-menerus memaksaku melakukan hal yang tidak mau kulakukan, hingga terpaksa membuatku membunuhnya. Dan ternyata membunuh seseorang itu tidak terlalu buruk, bukan?
“Hingga aku harus memulihkan tubuhku yang hancur seperti bangkai ini, aku harus mengancam dokter operasi plastikku dan kemudian membunuhnya karena aku tak memiliki uang untuk membayar. Beberapa saksi mata di sana juga kubakar hidup-hidup. Setelah itu aku melamar kerja di sini, namun tidak diterima karena pembantunya cukup. Akhirnya kubunuh satu agar aku bisa masuk ke rumah ini. Adik-adikku yang tak tahu diri itu mengambil semua hartaku dan berbahagia atas kabar kematianku. Jadi aku menunggu momen tepat untuk membunuhnya. Aku juga cukup akrab dengan putriku yang banyak sekali menceritakan dirimu. Dan dia cukup bersenang-senang dengan itu. Tapi aku melihat, kamu sangat membencinya, bukan? Aku juga melihat kamu yang membunuhnya waktu itu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Tunggu, atau jangan-jangan kamu juga yang membunuh ayahnya dan menjadikan ibunya gila?” tanyanya padaku.
Aku menghela napas. “Iya, aku yang membunuhnya! Mereka semua tak pantas bahagia! Aku membunuh ayah Ellis karena dia yang membunuh adikku yang berharga, sedangkan Ellis juga membunuh sahabatku yang paling aku sayang! Pembunuh seperti mereka tak pantas bahagia begitu pun sahabatnya!” ucapku kesal.
“Namun, bagaimana dengan pembunuh sepertimu? Pantaskah hidup?” tanyanya.
“Aku? Hahaha, aku pantas hidup, yang pantas mati itu kamu, Keparat!!!” Kutusuk dada wanita gila itu dengan pisau hingga beberapa kali, bukan hanya di dada tapi juga di wajahnya, dan aku pergi mencari jalan keluar dari rumah ini.
Dan begitulah cerita berakhir, membunuh seseorang sudah menjadi kebiasaanku yang sulit dihilangkan hingga harus menculik dan merampok orang untuk bertahan hidup, karena membunuh adalah hal yang menyenangkan.