Akhir-akhir ini seringkali saya temukan manusia dari yang tua sampai yang muda berbondong-bondong pergi menuju ke rumah pemutaran film (baca: bioskop) dengan membawa selembaran-selembaran tiket bertuliskan “Bumi Manusia” karya Hanung Bramantyo (bedakan dengan istilah “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer). Film yang rilis oleh Falcon Pictures pada tanggal 15 Agustus 2019 ini memang tengah laris manis.
Dilansir dari situs CNN Indonesia, film yang dibintangi oleh Iqbal Ramadhan (yang berperan sebagai Minke) eks pemeran “Dilan” tersebut telah terjual sebanyak 1.113.810 tiket per Jumat (30/8), kini berada di posisi ke sembilan dalam klasmen sementara Film Indonesia. Wow! Dua minggu awal rilis sudah berhasil menembus sepuluh besar film populer. Pencapaian yang patut disyukuri dan dirayakan dengan tidak hanya meneguk secangkir kopi.
Namun tujuan dari kepenulisan ini tak hendak membuat resensi film atau bukan semata mengabarkan prestasi film yang disutradari oleh Hanung Bramantyo. Di sisi lain, saya penulis yang notabenya sebagai siswa yang di-maha-kan oleh kultur pendidikan hendak mencoba ‘merefleksikan’ Bumi Manusia.
Dibalik gemerlapnya prestasi-prestasi yang diraih oleh produser film dan koleganya pasca transformasi medium—yang sebelumnya berupa buku setebal 535 halaman menjadi sebuah film berdurasi 3 jam 1 menit itu apakah masih menyimpan nilai-nilai khas Pramoedya dan wujudnya Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) selaku pengarangnya?
Perkenalan Saya dengan Pram
“Seorang terpelajar harus berbuat adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (1975).
Kutipan di atas adalah satu dari beberapa kutipan-kutipan milik Pramoedya yang memiliki pengaruh besar dalam hidup saya sebagai seseorang “yang (selalu) belajar.” Kutipan itu pertama kali saya temukan pada saat masih duduk di bangku sekolah menengah ke atas. Awalnya saya belum terkontaminasi oleh susunan teks pada kalimat tersebut. Saya hanya sekadar menyalin di belakang sampul buku tulis saya pribadi, dengan alasan merasa cocok dengan ungkapan tersebut.
Lalu, lambat laun seiring berjalannya waktu, saya terbawa oleh imajinasinya Pram tentang adil sejak dalam pikiran. Pasalnya, saya menulis kalimat itu di belakang sampul buku, secara tak langsung otomatis saya akan membacanya di dalam hati. Di samping itu juga, buku tulis pelajaran saya hanya satu, itu-itu saja yang ada kutipan di atas.
Dari kutipan itulah saya menyelami dunia Pram. Nyaris semua artikel di internet yang berkaitan dengan Pram saya baca hingga huruf terakhir. Namun, khusus untuk “Tetralogi Pulau Buru” ada yang belum saya khatamkan.
Prahara Novelis
Novel “Bumi Manusia” sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah salah satu novel dari empat novel dalam “Tetralogi Pulau Buru” (novel lainnya: Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca). Ditulis Pram pada saat masa tahanan di pulau Buru, Maluku pada tahun 1973.
Kurang lebih 30 tahun yang lalu tetralogi tersebut oleh Jaksa Agung Indonesia yang berada di bawah naungan rezim Orba pernah mengeluarkan dekrit tentang ‘haramnya’ buku-buku tersebut. Dikarenakan isi dari buku-buku tersebut mengandung fakta-fakta sosial yang tak sejalan dengan arah pemikiran penguasa, yaitu Soeharto.
Dikisahkan juga oleh akademisi yang kondang bak selebriti, Ariel Heryanto, “Novelnya dilarang. Sebagian pembacanya dipenjara bertahun-tahun. Pengarangnya ditahan belasan tahun tanpa diadili. Lalu dibebaskan tanpa dibersihkan namanya. Tanpa maaf negara terhadap novelis dan keluarganya. Apalagi ganti rugi. Kini novel itu jadi komoditas.” Unggahnya di akun Twitter pribadinya @ariel_heryanto pada tanggal 16 Agustus 2019.
Namun, di sisi lain, pada 27 Oktober 1999 di Wisma Negara, almaghfurlah Gus Dur pernah mengadakan rekonsiliasi nasional terhadap korban ’65—Pramoedya ada di sana, sebab dia merupakan tapol Orba. Dinukil dari website Indoprgress (2/4/14), Zastrow el-Ngatawi adalah seorang saksi ketika Gus Dur bertemu dengan Pramoedya. Dia bercerita tentang kronologi pemaafannya Gus Dur dalam sebuah acara bedah buku Benturan NU dan PKI: 1948-1965 karya Abdul Mun’im DZ (selengkapanya: Indoprogress.com Masihkah Meragukan Maaf Gus Dur).
Transformasi
Apakah yang membedakan antara “Bumi Manusia” karya Hanung Bramantyo dengan “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer? Medium atau alatnya. Hipotesa sederhananya, “Bumi Manusia” karya Hanung Bramantyo adalah sebuah film yang mengangkat sebuah novel, sedangkan “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah buku yang saat ini diangkat sebagai film. Sampai sini sepakat? Namun ada jawaban lain, yaitu alpanya substansi “Bumi Manusia” sebagai “Seni perlawanan dan melawan.”
Peralihan dari buku ke film menurut saya juga mengandung konsekuensi tersendiri. Secara garis besar, selain sebagai produk industri dan barang dagangan, film juga produk estetika. Di mana unsur-unsur keindahan, tata cahaya, dan naskahnya menjadi satu hingga sekian gerakan.
Pram sebagaimana yang telah saya jelaskan pada sub-judul Prahara Novelis. Dia melawan rezim ”tangan besi” dengan cara menelurkan karya sastra beraliran realisme-magis. Semua fakta sosial sejarah yang tampak buram ia rangkum dalam bentuk novel yang diwartakan oleh Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, dll—tanpa mempedulikan konsekuensinya: dipenjara atau diasingkan.
Namun, pada saat saya menyaksikan film tersebut, saya kecewa berat. Saya merasa ditipu oleh produser film (bukan bermaksud menjelekan); pasalnya saya yang sangat antusias menyambut film Bumi Manusia sejak dirilisnya teaser film hanya disuguhi pengalihan teks ke gambar, dengan reduksi imajinasi visual saja. Padahal, di dalam hati yang bersemangat ini saya menunggu adegan-adegan dari sikap dan gagasan sutradara terhadap Bumi Manusia, baik secara eksplisit maupun implisit.
Sebenarnya itu bukan hal yang penting, namun itu merupakan momok yang memiliki arti bila dengan adanya tambahan sikap dan gagasan dari sutradara menegaskan bahwa sutradara benar-benar menghayati novel tersebut.
Sementara di lain sisi, apakah dengan populernya fiIm Bumi Manusia yang bisa dinikmati semua kalangan masyarakat sambil nyemil gorengan Ote-ote dan Tempe gembos atau sambil menyesap tembakau sembari ngopi santai tanpa perlu takut dituduh PKI dan diciduk tentara lalu malam harinya di “Dooorr!” sebagaimana Pram dan karyanya serta pembacanya merupakan sebuah petanda bahwa rezim sekarang ini telah sanggup membuka mata hati?
Kurasa belum tentu juga. Ben Anderson berpendapat bahwa media cetak menciptakan “masyarakat terbayangkan” yang kemudian melahirkan Negara bangsa. Sedangkan film adalah komoditas waktu luang masyarakat urban yang jenuh dengan rutinitas sehari-hari.
Kalau kita ibaratkan, media cetak adalah pamflete perjuangan sosialisme dan poster fim adalah bujuk rayuannya kapitalisme.
Eksistensi
Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan asal Indonesia yang lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 30 April 2006. Dia adalah sastrawan legendaris, hal itu dapat dibuktikan dalam karya-karyanya yang telah banyak dialihbasakan ke dalam bahasa asing sebanyak 42 bahasa asing.
Dari sekian banyaknya karya-karya Pram, ada satu ungkapan yang sampai terus menjadi sorotan saya. Yaitu, “Adil sejak dalam pikiran” (seperti yang sudah saya tulis di sub-judul kedua). Maksudnya meninggalkan budaya mementingkan individu atau golongan sendiri, tidak konservatif, dan menerima perbedaan demi kemaslahatan umum.
Tapi apakah ungkapan itu memiliki eksistensi besar di kalangan masyarakat, khususnya akademisi? Ungkapan tersebut selalu bergentayangan di kepala dan menghantui sanubari. Bagaimana tidak, tindakan-tindakan rasis lebih sering dipertontonkan oleh orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai kaum berpendidikan. Ditambah lagi fenomena logic fallacy (kesesatan berpikir) semakin merajalela; seperti bahwa mahasiswa lebih pintar daripada siswa, bahwa doctor lebih pintar daripada magister, dan sejenisnya. Gradasi intelektual dan strata pendidikan lebih sering dimaknai sebagai hierarki kebenaran. Itu belum lagi klaim bahwa lulusan kampus ini tentunya lebih baik dari lulusan kampus itu.
Bagaimana baromaternya prestasi menjadi kriteria kebenaran? “Bisa jadi Anda benar, tapi karena Anda bukan siapa-siapa, maka Anda dianggap salah. Dan, bisa jadi ucapannya Anda salah, lantaran Anda seorang Profesor, maka ungkapan itu dianggap benar.” Sindir Bambang Sugiharto dalam menanggapi fenomena yang sedang terjadi.
Sekelibat teringat maqola dari Sayyidina Ali bin Abi Tholib Karamallahu wajha, “Perhatikan apa ucapannya, bukan siapa yang mengucapkannya.” Kalimat sederhana itu memiliki dasar pijakan epistemologi dan objektifitas yang kuat: bahwa ukuran kebenaran bukan karena siapa penyampainya, tapi apa yang disampaikannya—bagaimana rasionalitas dan korelasi dengan fakta dari apa yang diucapkannya, yakni apakah mampu menjelaskannya sesuai kenyataan.
Justru seringkali saya sendiri melihat orang-orang yang tak bertitel itu lebih professional daripada orang yang bertitel. Ketidakbertitelan itu membuatnya lebih bersikap tawadhu’ sehingga mampu mnyelami realitas yang terjadi.
Di titik inilah saya mencari koordinat eksistensinya Pramoedya dalam film Bumi Manusia. Apakah dengan estetika film, manusia-manusia dapat meninjau ulang sisi kemanusiaannya sendiri dan kembali ke fitrahnya sebagai makhluk sosial. Bukan seperti fenomena yang terjadi di warung kopi, semua datang atas janji, semua tenang terhipnotis aplikasi.
*Mahasiswa Program Studi Agama-Agama
Penyunting: Fadlilatul Laili Riza Rahmawati