
Doc. Forma
Akhir-akhir ini, pandangan kita tidak dilepaskan oleh demonstrasi-demonstrasi yang terjadi di sejumlah daerah. Mulai dari banyaknya masa aksi hingga kalimat-kalimat candaan yang dibuat untuk melampiaskan rasa muak atas realitas kebangsaan. Tidak berhenti disitu bahkan kita juga digegerkan lantaran masa-masa aksi tersebut tidak hanya diikuti oleh buruh, pekerja kasaran ataupun mahasiswa, melainkan siswa Sekolah Lanjut Tingkat Atas.
Setelah banyaknya aksi Demonstrasi yang terjadi di berbagai wilayah. Aliansi Mahasiswa Surabaya akhirnya turut memberikan aspirasinya melalui demontrasi yang dilakukan pada 26 September 2019. Aksi tersebut dilakukan untuk merespons tentang UU KPK yang baru saja disahkan oleh DPR dan polemik-polemik mengenai RKUHP. Tidak hanya berhenti pada permasalahan undang-undang , mahasiswa juga menuntut para pemangku kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan negeri melingkupi krisis agraria, krisis asap kebakaran hutan dan polemik yang ada di Papua.
Dengan melibatkan mahasiswa se-Surabaya, masa aksi memulai demonstarsinya dengan kekuatan penuh menyampaikan pendapatnya. Dengan jiwa yang membara dan berkobar-kobar lantaran melihat kerennya aksi-aksi di wilayah lain. Masa aksi pun melakukan mobilisasi masa di daerah Tugu Pahlawan, lalu melakukan long march ke gedung DPR Jawa Timur.
Namun ketika penulis melakukan pengamatan di dalam aksi demonstrasi, penulis cukup janggal ketika memasuki wilayah depan kantor DPR, ada semacam suara murotal yang berasal dari Masjid Takmiriyah, yang berada tepat di depan kantor DPR. Penulis hanya mengira bahwasannya hal itu mungkin sering dilakukan oleh masjid tersebut. Meski pada benak penulis sendiri bertanya, seharusnya ketika ada demonstrasi maka di daerah lokasi demonstrasi itu biasanya hanya ada pekikan orasi mahasiswa atau sirine mobil polisi dan ambulan.
Setelah penulis mendengarkan secara lamat-lamat ternyata bunyi layaknya murotal tersebut bukan iseng atau sengaja seperti halnya pujian-pujian sebelum azan. Ternyata bunyi tersebut adalah alunan Asma’ul Husna yang dibacakan dari dalam masjid tersebut dengan pengeras suara yang cukup nyaring hingga mengurangi tensi orasi mahasiswa.
Unik memang, jika sebuah demonstrasi diiringi dengan alunan Asma’ul Husna. Bahkan hal ini juga dilakukan oleh polisi perempuan yang membacakan alunan Asma’ul Husna di depan masa aksi demonstrasi. Penulis menilai cara yang dilakukan oleh para pengaman untuk mengamankan demo menggunakan pembacaan Asma’ul Husna cukup berhasil. Terlepas dari solidnya mahasiswa aksi yang disiplin dalam menjaga ruang untuk tidak disusupi oleh penumpang gelap.
Penulis pun teringat dengan sebuah kata-kata bijak yang diserukan oleh aktivis kemanusia yakni Mahatma Gandhi, berbunyi demikian “Kasih sayang merupakan bentuk tertinggi dari sikap tanpa kekerasan”. Benar saja, bak Simsalabim massa puluhan ribu mahasiswa yang tergabung dari seluruh universitas se-Surabaya pun bisa dikendalikan dengan baik. Namun penulis tidak sedang memberikan legitimasi bahwasannya aksi demonstrasi tersebut bisa berjalan dengan kondusif lantaran dibacakannya Asma’ul Husna. Terlepas dari hal itu para massa aksi juga memiliki visi dalam menyampaikan aspirasi, yakni jangan sampai terprovokasi. (Akary)