Sumber Google

 

            Di akhir tahun 2019, dunia digemparkan dengan kehadiran virus corona dari salah satu pasar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Penyakit dari virus ini kemudian dinamakan dengan Corona Virus Disease (Covid-19).

          Namun, jika kita melompat ke tahun 2002 dan 2014 lalu, ternyata sudah ada beberapa virus corona yang pernah menjadi pandemi global, diantaranya Severe Acute Respiratory (SARS) dari Cina dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dari Arab Saudi. Lalu, apakah sebenarnya virus corona itu? Dilansir dari situs resmi organisasi kesehatan dunia WHO, virus corona atau coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia.

          Sebelum lanjut ke pembahasan, saya ingin meluruskan sedikit kesalahpahaman warga +62 yang masih rancu memahami soal virus corona. Meskipun berita virus corona sudah ada sejak 5-6 bulan lalu, namun nyatanya masih banyak yang belum sistematis dalam memahaminya. Bisa dicontohkan dari HIV dan AIDS. HIV adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh, sedangkan AIDS adalah penyakit akibat virus HIV. Sama antara virus corona dan Covid-19. Virus corona ibarat HIV, sedangkan Covid-19 ibarat AIDS atau penyakit akibat virus HIV. Jadi virus corona baru tersebut atau lebih tepatnya Novel Corona Virus (2019-nCov) adalah penyebabnya dan Covid-19 adalah akibatnya.

          Dulu di awal virus baru ini diberitakan dan mulai menyerbu berbagai negara di belahan dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang aman dari wabah corona saat itu. Dari sini jelaslah pemerintah berbangga sambil bersyukur karena virus corona tidak “mempan” sampai ke Tanah Air. Setelah waktu berjalan tepatnya di bulan Maret, terbit berita baru yang mendiagnosa dua orang positif corona dari kota Depok. Meski demikian pun pemerintah masih “santai” menyikapi kedatangan virus corona yang jelas sudah terbuka gerbang utama masuknya walaupun hanya ‘masih’ terhitung dua orang positif. Belum lagi pernyataan Menkes RI yang saya kutip dari Liputan6.com, dimana Terawan Agus Putranto menyatakan bahwa tidak semua yang terkontak langsung dengan orang yang positif corona akan sakit. Menurutnya, tertular atau tidaknya itu tergantung kondisi imunitas tubuh.

          Sesudah ditemukannya WNI positif corona, tentu tak lupa juga protokol penanganan Covid-19 yang sebelumnya sudah disusun pemerintah sejak 28 Januari 2020, hingga mulai dilakukan publikasinya ke masyarakat pada 6 Maret 2020 sejak teridentifikasinya dua warga Depok yang positif corona. Melalui berita ini, warga Indonesia mulai dibuat panik baik dari kalangan atas, bawah, menengah, pejabat, maupun orang biasa. Bahkan sekolah-sekolah, perguruan tinggi, serta beberapa instansi ataupun lembaga meniadakan pertemuannya dan diganti dengan sistem daring.

          Kejadian tersebut bermula pada Maret 2020. Coba  kita tengok di bulan Mei ini, semakin ke sini suasana kehidupan semakin mencekam bukan? Apalagi bulan ini bertepatan dengan bulannya umat muslim menjalankan ibadah puasa ramadhan, dimana kebanyakan dari mereka harusnya merasa semangat dan bahagia menyambut kedatangannya. Juga budaya bagi-bagi takjil, buka bersama, sholat tarawih berjamaah, tadarus Al-Qur’an bersama-sama, hingga yang sering dilakukan menjelang ramadhan berakhir yakni mudik. Belum lagi lebaran tahun ini yang dilaksanakan di rumah aja tanpa bertemu rindu dengan sanak saudara.

          Berbagai budaya tersebut kini tidak dapat umat muslim rasakan dan rayakan di ramadhan dan idul fitri tahun ini akibat pandemi Covid-19. Belum lagi eksistensi virus Covid-19 yang semakin memakan korban dan semakin melonjak jumlahnya, hingga diberlakukanlah lockdown sampai physical distancing  untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, disamping penerapan karantina pribadi “di rumah aja”. Seakan-akan pandemi ini menjadi kemalangan bagi sepanjang sejarah di hari besar agama umat muslim dunia. Entah bagaimana kita menilai pemerintah. Terlambat dalam menangani kasus ini, karena memang budaya Indonesia kan seperti ini, “mengobati dulu baru mencegah”, atau bisa juga karena memang orang-orangnya sendiri yang “susah” menaati peraturan.

          Di Indonesia dan bahkan dunia, angka kematian (mortalitas) saat ini didominasi oleh kasus Covid-19. Penyakit virus yang disebut sebagai pandemi mematikan ini sudah menjadi momok menakutkan bagi manusia di muka bumi. Bahkan banyak yang berujar bahwa virus Covid-19 penyebab lenyapnya jutaan manusia. Mengenai statement tersebut memang benar sebab faktanya demikian, namun pemaknaannya yang mengganjal. Apakah benar jutaan manusia di muka bumi mati akibat corona? Bukankah setiap jam di berbagai belahan dunia, akan ada manusia yang lahir dan mati? Lebih jelasnya mari kita telusuri beberapa data statistik kasus kematian yang terjadi di Indonesia tahun 2018 lalu.

          Melalui data Kepolisian RI, dinyatakan bahwa setiap jamnya 3 orang meninggal atau dalam sehari ada 70-an orang meninggal akibat kasus kecelakaan lalu lintas. Itu artinya, jika dihitung selama setahun akan ada 27.910 orang yang meninggal. Ada lagi data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menyatakan di tahun tersebut sebanyak 37-40 orang meninggal setiap harinya akibat mengonsumsi narkoba dan 14.400 orang dalam setahun. Jadi, total keseluruhan mortalitas di Indonesia dalam setahun tersebut dari dua contoh kasus kecelakaan lalu lintas dan narkoba sebanyak 42.310 nyawa melayang.

          Sekarang mari kita belok pada mortalitas akibat Covid-19 di Indonesia pada 25 Mei 2020 melalui situs Gugus Tugas (percepatan penanganan Covid-19). Dalam data tersebut dinyatakan bahwa total pasien yang meninggal sebanyak 1.391 orang. Maka apabila dikaitkan dengan mortalitas dari berbagai kasus di Indonesia, salah satunya seperti kecelakaan lalu lintas dan narkotika tadi. Sebelum adanya pandemi corona ini, setiap harinya akan ada orang yang meninggal akibat kasus-kasus tertentu. Namun, bedanya setelah corona datang, angka kematian dari berbagai kasus tersebut didominasi jadi berpindah kepada kasus kematian akibat Covid-19 secara serentak dan terlihat. Kenapa bisa?, logikanya saja begini!, pemerintah menerapkan sistem lockdown ‘di rumah aja’, boleh keluar asal pas butuhnya saja, dan tetap harus physical distancing ‘jaga jarak’. Dari imbaun-imbauan tersebut secara tidak langsung sudah mengurangi angka kematian di Tanah Air dari kasus-kasus lain. Maka dari itu saya katakan, ada atau tidaknya corona, angka kematian akan tetap demikian dan pasti ada saja orang yang meninggal di berbagai belahan dunia setiap harinya khususnya di Indonesia. Bahkan jika dibandingkan dengan dua penyakit virus sebelum Covid-19 ini yakni SARS dan MERS, rasio prosentase kematiannya setiap harinya lebih parah daripada Covid-19.

          Apalagi orang-orang yang beragama Islam di Tanah Air ini. kebanyakan ditemukan kasus positif Covid-19 menimpa umat muslim NKRI. Sebab bagaimana lagi, Indonesia merupakan negara mayoritas muslim. Di sini saya ingin cungkil perkara mendasar keadaan umat muslim di Indonesia. Dalam agama Islam terdapat enam rukun iman yang salah satunya percaya kepada takdir Allah.

          Memaknai lebih lanjut kondisi dunia 2020 kini. Tentu setiap orang akan merasa sengsara, panik, takut, bahkan secara tidak langsung sudah menewaskan iman mereka sendiri di hadapan makhluk Allah yang bernama Covid-19. Alurnya seperti ini!, bisa kita lihat kembali dari data mortalitas yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah adanya Covid-19. Poin pertama, bukankah kematian manusia dalam setiap harinya pasti ada dan terus terjadi selama bumi masih berputar? Apabila demikian, mengapa orang-orang harus panik jika virus corona menyerang mereka? Poin kedua, bukankah dalam hal takdir manusia dapat bernego dengan Tuhan untuk keselamatan nyawanya? Jadi seandainya kita dinyatakan positif, sebagai mukmin harus percaya dong akan takdir Tuhan. Kalau kita ikhtiar dan memohon untuk sembuh, atas kehendak-Nya bisa sembuh kok!, buktinya banyak pasien yang awalnya positif kemudian dinyatakan negatif. Poin ketiga, bukankah kematian ada di tangan Tuhan dan mutlak hanya diri-Nya saja yang berkehendak?. Lagi pula setiap manusia tiada yang abadi.

          Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa orang-orang yang paham betul enam rukun iman ini, mampu melawan tadir Tuhan dengan menjaga diri melalui protokol penanganan Covid-19 dari pemerintah dan selalu was-was agar tidak terinfeksi virusnya, sampai-sampai Tuhan sendiri dilupakan karena “saking takutnya”. Bukan berarti saya rasis terhadap keyakinan saya sebagai muslim dan enggan mengikuti aturan pemerintah. Di sini saya hanya memproporsikan sejauh mana rasa percaya kita terhadap takdir Tuhan.

          Menurut saya, mau kena mau tidak, jika takdirnya akan tiada akibat corona, berarti Tuhan menghendaki demikian, begitupun sebaliknya. Kematian akibat corona yang disiarkan dalam berita-berita itu hanyalah silap mata dan telinga kita saja, mereka hanya sebatas informasi. Corona ini hanya perantara Tuhan untuk mematikan ribuan nyawa manusia setiap harinya. Dengan demikian, Tuhan menjadi mudah dalam mematikan hamba-hambanya secara serentak. Andaikan setiap orang paham, badan statistik negara selalu menyajikan data-data kematian dan kelahiran setiap orang dalam kurun waktu tertentu. Maka apabila dalam pemberitaannya dipublikasikan korban berjatuhan akibat corona, harusnya hal ini wajar saja ‘bagi mereka yang tahu’, sebab ini juga sudah menjadi kodrat manusia dan siklus kehidupan. Adapun penyebab Tuhan mengizinkan virus ini menyerang makhluk bumi, bisa saja karena Dia sudah rindu dengan makhluknya untuk kembali ke pelukan-Nya, bisa juga untuk menguji keimanan umat manusia terkhusus umat muslim antara corona dan takdir Tuhan, wallahu ‘alam.

Erliana WP