Penulis: Layli Nurul Islamiyah

Editor: Sabitha Ayu Nuryani

Sumber: Pinterest.

Tiit… tiit… tiit… Suara dari alat monitor hemodinamik dengan pelannya mampu membuat orang di sekitar keringat dingin dalam setiap detiknya.

“Ibu, hiks… hiks… hiks… Bangunlah, Bu, sekarang aku nggak tahu harus apa, Bu.” ujar seorang gadis dengan suara isak tangisnya. Setelah beberapa saat, seseorang menelepon gadis tersebut.

“Halo, selamat malam, apa benar ini dengan Aisyah Mubarokah?” ucap seorang pria dari balik telepon itu. “Iya benar, ini siapa ya?” tanya Aisyah dengan mengusap kedua matanya yang sedikit sembab. “Mohon maaf mengganggu waktunya, kami di sini dari perusahaan modelling, kami berniat merekrut Anda menjadi salah satu model dalam perusahaan kami atas rekomendasi dari teman Anda yang bernama Nona Aurel Septiana, bagaimana, Mbak?” jelas pria tersebut. Aisyah terdiam sejenak mendengar itu, dalam hatinya, Model? Itu memang impianku dari dulu, tapi sekarang…

***

Di suatu waktu, di dalam kampus yang ramai…

“Aisyaaaahhhhh!!!” teriak salah seorang perempuan dengan rambut panjangnya seperti wanita Eropa.

“Oiii, ada apa, Sa?” tanya Aisyah yang sedari tadi tengah merapikan rambutnya.

Ya, gadis berwajah Eropa itu adalah Sasa, teman Aisyah sejak SMA.

“Lihat ini! Audisi modelling dibuka lagi, cita-citamu ‘kan? Daftarlah, Aisyah!” ujar salah satu temannya berwajah Asia Tengah. Dan gadis ini adalah Aurel, juga merupakan teman Aisyah sejak SMA.

“Bolehlah dicoba, oke aku akan langsung daftar, thanks ya, Aurel, Sasa.” ujar Aisyah sembari memeluk kedua temannya.

Mereka bertiga bersahabat sedari SMA dan mereka bertemu lagi di kampus yang sama. Lalu, mereka bertiga yang tadinya berada di parkiran langsung berjalan menuju kelas mereka masing-masing.

***

Sruk… sruk… sruk…

“Aisyah, kamu sedang apa sayang?” tanya seorang wanita paruh baya sembari mengusap kepala Aisyah.

“Ibu, Aisyah lagi lihat-lihat majalah, Aisyah pengin jadi model, Bu.” ujar Aisyah sembari menunjukkan majalah itu pada ibunya.

“Aisyah, sudah berumur 6 tahun ya, kamu boleh memiliki impian apa pun. Tapi, jangan sampai mimpi Aisyah membuat Aisyah kehilangan mahkotanya.” ujar ibunya sembari mengusap kepala Aisyah yang mungil.

“Aisyah tidak paham.” ujar Aisyah sembari melihat ibunya dengan kedua bola mata yang besar. Namun, ibunya hanya menjawabnya dengan senyuman yang lembut.

***

Semilir angin mulai terasa, hawa panas mulai menembus setiap kaca jendela ruang kelas. Dedaunan kering ikut berguguran dan terbawa angin yang perlahan masuk dari kaca jendela yang terbuka. Seorang gadis dengan mata yang bulat, pipi yang merona terlihat menahan kantuk di dekat jendela.

Ssstt… Aisyah, jangan tidur.” tegur teman yang ada di belakangnya.

“Hmmm, Fathimah, ngantuk tau, cuaca panas pula, kamu enggak gerahkah? Pakaianmu tertutup banget loh itu.” ujar Aisyah setengah sadar. Namun, Fathimah hanya tersenyum menjawab pertanyaan Aisyah.

Aisyah dan Fathimah adalah teman dekat dari SD, Fathimah dibesarkan dari keluarga yang paham agama dan Aisyah dibesarkan dari keluarga yang biasa-biasa saja.

***

Saat waktu pulang tiba, Fathimah menahan tangan Aisyah yang akan keluar dari kelas.

“Aisyah, ikut kajian, yuk!” ajak Fathimah.

Lalu, tiba-tiba…

“Aisyah!!! Ayo pulang! Aku mau ajak kamu ke tempat pendaftaran modelling yang aku tunjukin tadi.” ujar Aurel.

“Iya, Aisyah, yukk!!” sahut Sasa.

“Emmm, Fathimah, maaf ya, aku ada urusan, daaaaaaahh!” ujar Aisyah sembari merangkul Aurel dan Sasa pergi dari ruangan itu.

Dengan jarak yang sedikit jauh…

Thanks, ya, kalian nyelamatin aku.” ujar Aisyah dengan nada berbisik.

“Santuy!!” jawab kedua temannya dengan nada yang sama.

Di waktu yang bersamaan…

Hmmm, lagi-lagi kamu menghindar, Aisyah, entah kapan kamu bisa berubah, ucap Fathimah dalam hati.

***

Cuitt… cuitt... cuitt…

“Fathimah! Lihat deh burung yang ada di atas pohon itu!” ujar Aisyah sembari menunjuk pohon.

“Wahh! Cantik banget! Warnanya yang putih bersih, dan kakinya yang merah muda, cantik banget! Eh, Aisyah, kata bundaku nanti di surga kita bisa ketemu burung-burung yang seperti ini, bahkan lebih cantik dari ini!” ujar Fathimah dengan semangatnya.

“Benarkah?! Aku mau ke surga kalo gitu, ayo kita ke surga bareng, Fathimah!” ujar Aisyah dengan polosnya.

Kala itu, Fathimah dan Aisyah berumur 5 tahun. Waktu demi waktu berlalu begitu cepat, Aisyah yang sudah SMA berubah, ucapannya yang pernah dia ucapkan pada Fathimah dulu pun sudah terlupakan.

“Aisyah, ayo kajian bareng!” ajak Fathimah.

“Maaf aku ada urusan, daah.” sahut Aisyah lalu pergi meninggalkan Fathimah.

Setiap Fathimah mengajak Aisyah ikut kajian, Aisyah selalu menolaknya, dengan alasan yang sama.

***

Hari itu, hujan turun dengan derasnya. Setiap jalan yang dilewati basah terguyur hujan. Saat itu, Aisyah tengah berjalan menuju rumahnya dengan ekspresi yang begitu suram.

“Eh, lihat itu, itu Aisyah ‘kan, hmm beda ya sama adik-adiknya, adik-adiknya pake hijab, tertutup, adem gitu lihatnya.” ujar salah satu tetangganya.

“Iya, Jeng, semenjak Ayahnya meninggal… ups!” tambah salah satu tetangganya.

Aisyah yang mendengar itu langsung berlari menuju rumahnya. Dalam hatinya… Ini jalanku, terserah aku, masa bodoh!

Aisyah yang marah sampai ke rumahnya, dan disambut hangat oleh ibu dan juga kedua adiknya.

“Kakak!” sapa kedua adiknya.

“MINGGIR!!” bentak Aisyah sembari mendorong kedua adiknya.

“Aisyah! Jangan begitu sama Adiba dan Aiyla!” tegas ibunya sembari memeluk kedua putrinya itu.

“Terserah.” sahut Aisyah dengan ketusnya dan bergegas menuju ke dalam kamar. Selalu mereka yang dibela. Huh!

***

Drrrrrrrrrrsssssssss… Hujan turun dengan derasnya, menutupi segala kebisingan yang ada. Saat itu, Aisyah awal 1 SMA yang sedang menemani ibunya di dalam ruangan yang dipenuhi bau antibiotik.

“Halo! Ayah, Ibu sudah di rumah sakit, Ibu akan segera melahirkan.” ujar Aisyah dalam  telepon.

“Iya, Nak, tunggu sebentar, Ayah dalam perjalanan, terus temani Ibu, Ayah akan segera sampai, hujannya terlalu deras.” ujar sang Ayah dengan sedikit gugup.

“Ayah hati-hati.” ujar Aisyah.

Di saat yang bersamaan, sewaktu cukup lama menunggu sang ayah tiba, sang ibu berusaha melahirkan sendirian tanpa didampingi sang ayah. Lalu, saat Aisyah masih menelepon Ayahnya…

Oeekkkoeekkk…” Terdengar suara bayi dari dalam ruang bersalin sang ibu.

“Selamat, Anda melahirkan dua orang putri kembar.” ucap Bu Bidan kepada sang ibu.

Aisyah yang mendengarnya dari balik pintu ruangan tersebut, langsung memberitahukan sang Ayah mengenai kabar tersebut.

“Ayah! Adikku kembar, perempuan.” ujar Aisyah. Sang ayah yang mau membalas obrolan tersebut, tiba-tiba handphone-nya terjatuh dan…

Ckiiiiiiitttttt… Bruakkkk…

“Halo? Ayah? Ayah? Halo?” ujar Aisyah dengan suara yang sedikit gemetar.

Itulah tragedi yang membuat Aisyah berubah, menyalahkan segalanya pada adik-adiknya itu.

Setelah kejadian itu, Aisyah menjadi gadis yang sensitif ketika di rumah, sering marah-marah tanpa alasan. Hal itu bermula karena kejadian ayahnya yang meninggal dan kehidupannya yang menjadi jatuh miskin, sehingga membuat Aisyah terobsesi untuk menjadi model. Walaupun, harus membuang mahkota dalam dirinya itu. Meski demikian, setiap kali Aisyah mendaftar audisi, selalu ditolak di awal pendaftaran.

***

Di pagi yang cerah, dengan nuansa embun pagi yang menyejukkan, berjalan seorang gadis dengan wajah berseri dan pakaian yang tertutup rapat tengah menghampiri Aisyah yang tengah berjalan-jalan dengan sedikit melamun karena CV-nya selalu ditolak oleh perusahaan modelling sampai tiba di suatu tempat yang selama ini selalu ia hindari. Lah, kok?! Masjid?! Kakiku kenapa pula berjalan ke sini?! Ada kajian pula. Pulang, ahh, gawat nanti kalo tiba-tiba ada Fathimah. Tak lama kemudian…

“Aisyah!” sapa Fathimah.

Tuh kann Pasti nanti diajak ikut kajian lagi deh, alasan apa yaaa…

“Ikut kajian, yukk!” ajak Fathimah.

Tuh kann… “Emm, anu Fathimah…” ujar Aisyah dengan gugup.

“Udah, nggak usah alasan, nih hijab, kamu pake, terus ini rok pake juga, kamu udah pake baju lengan panjang juga kok. Sana ganti di kamar mandi masjid, aku tunggu.” ujar Fathimah sambil memberikan rok dan juga jilbab pada Aisyah.

Tak lama kemudian, Aisyah keluar dengan pakaian muslimah dan dipuji oleh Fathimah. Lalu mereka pun menuju ke dalam masjid dan mendengarkan kajian. Aisyah yang awalnya merasa tidak nyaman, lama-lama dia terbiasa. Dia mendapatkan hidayah ketika salah seorang ustazah ceramah hingga membuat seisi masjid menangis, termasuk Aisyah. Semenjak itu, Aisyah sering mengikuti kajian bersama Fathimah dan sedikit demi sedikit hijrah kembali ke jalan Allah, walaupun semua itu perlu pengorbanan.

***

Awalnya, dia hanya sedikit dijauhi oleh teman-temannya dulu, yakni Aurel dan Sasa. Lalu tetangga yang tetap mengejek dia karena mulai berpakaian syar’i. Dan, di kemudian hari…

Uhuk… uhuk… uhuk… Terdengar dari dalam kamar suara wanita paruh baya yang batuk dengan kerasnya. Aisyah yang sedang diam membaca buku-buku agama terkejut mendengar ibunya batuk parah. Kemudian, Aisyah dan adiknya yang juga mendengar suara ibunya itu, bergegas menuju kamar ibunya.

Semakin mereka mendekat, semakin terdengar dengan keras suara batuknya. Lalu ketika mereka bertiga sampai depan pintu kamar ibunya, terlihat sang ibu tergeletak di atas lantai sembari memegang sapu tangan yang dipenuhi dengan segumpal darah.

“IBU!!!!” teriak ketiga putri tersebut sembari berlari dan memeluk sang ibu.

Lalu, Aisyah sebagai yang paling dewasa bergegas menelepon ambulans dan membawa sang ibu ke rumah sakit. Naasnya, sang ibu kali ini mengalami koma karena sakitnya tersebut hingga beberapa hari.

***

Dalam ruangan yang dipenuhi dengan aroma antibiotik yang begitu familiar, Aisyah dan adik-adiknya tertidur di dalam ruangan tempat ibunya dirawat. Sang adik tidur di sofa, dan Aisyah tidur di kursi sebelah ibunya. Hal itu dikarenakan mereka harus menjual rumahnya untuk biaya pengobatan sang ibu, walaupun dokter selalu mengatakan kemungkinannya sangat kecil untuk sang ibu sadar. Hingga beberapa hari kemudian…

Tiit… tiit… tiit… Suara dari alat monitor hemodinamik dengan pelannya mampu membuat orang di sekitar keringat dingin dalam setiap detiknya.

“Ibu, hiks… hiks… hiks… Bangunlah, Bu, sekarang aku nggak tahu harus apa, Bu.” ujar seorang gadis dengan suara isak tangisnya. Setelah beberapa saat, seseorang menelepon gadis tersebut.

“Halo, selamat malam, apa benar ini dengan Aisyah Mubarokah?” ucap seorang pria dari balik telepon itu. “Iya benar, ini siapa ya?” tanya Aisyah dengan mengusap kedua matanya yang sedikit sembab. “Mohon maaf mengganggu waktunya, kami di sini dari perusahaan modelling, kami berniat merekrut Anda menjadi salah satu model dalam perusahaan kami atas rekomendasi dari teman Anda yang bernama Nona Aurel Septiana, bagaimana, Mbak?” jelas pria tersebut. Aisyah terdiam sejenak mendengar itu, dalam hatinya, Model? Itu memang impianku dari dulu, tapi sekarang…

Setelah mendapat telepon itu, Aisyah menelepon temannya, Aurel.

“Assalamu’alaikum, halo,” sapa Aisyah.

“Halo, ada apa? Oh, udah dapat kabar yaa dari direktur di perusahaan Papaku? Udah terima aja, toh lagi susah.” ujar temannya dengan sinis.

“Maaf, kamu sendiri kan tahu, kalau aku sudah hijrah, aku berhijab, model di perusahaan Papamu kan lepas hijab semua.” ujar Aisyah dengan jelasnya.

“Udahlah, kalo nggak mau bilang aja, bye!” sahut Aurel dengan ketusnya.

“Bukan gitu, Aurel… Halo?” ujar Aisyah ingin memperjelas, tetapi Aurel menutup teleponnya secara sepihak. Lalu Aisyah pun menelepon kembali direktur yang meneleponnya tadi.

“Halo, selamat malam,” sapa Aisyah dengan sopan.

“Oh, iya halo, dengan Mbak Aisyah, ya? Jadi bagaimana, Mbak?” tanya direktur tersebut.

“Sebelumnya terima kasih banyak atas tawarannya, tetapi mohon maaf saya tidak bisa menerimanya jika harus melepas hijab.” ujar Aisyah.

“Hanya sebentar saja kok, Mbak. Hanya pas kerja saja Mbak lepas jilbabnya, lalu Mbak pakai lagi kalo sudah selesai.” ujar direktur tersebut.

“Maaf, saya tidak bisa. Saya sudah berhijab.” ujar Aisyah.

“Kenapa sih, Mbak?! Padahal cuma hijab, udahlah kalo tidak mau, lihat aja, Mbak, Mbak nggak akan sukses karena memakai hijab, permisi!!” ujar direktur itu dengan ketusnya.

Setelah itu, Aisyah berlari menuju masjid sekitar rumah sakit itu, ia menangis sejadi-jadinya. Dia harus merelakan cita-citanya dahulu yang ingin menjadi model demi menjaga mahkotanya itu. Dia sempat mengeluh, putus asa, lelah, dan lain sebagainya. Namun, di tengah itu semua, dia ingat ceramah yang pernah ia dengar saat kajian bersama Fathimah, bahwa…

Semua ini hanyalah ujian, Allah SWT tidak akan pernah menguji suatu kaum melebihi batas kemampuannya, Allah tidak mungkin langsung menerima ungkapan hijrah begitu saja tanpa diuji, ujian ini adalah bukti cinta Allah terhadap hamba-Nya.

Aisyah pun tersadar, dia bangkit lagi, memulai segalanya dengan menulis, mecari uang dengan cara yang baik tanpa perlu membuang mahkotanya lagi, dan rutin ikut kajian bersama Fathimah sembari menunggu ibunya sadar. Hingga tak lama kemudian, saat Aisyah sedang berada di tempat kajian bersama Fathimah…

“Halo, selamat siang, benar dengan Mbak Aisyah Mubarokah?” tanya salah seorang wanita di balik telepon itu.

“Iya benar, dengan saya sendiri.” jawab Aisyah dengan sedikit kebingungan.

“Selamat, karangan novel yang Mbak ajukan dengan judul Antara Cinta dan Cita lolos seleksi dan akan dalam proses pembukuan, untuk itu Mbak Aisyah dimohon untuk datang ke kantor besok pagi. Bagaimana, Mbak?” ujar wanita itu.

Saat itu, perasaan bahagia, terkejut, terharu, semua bercampur jadi satu, segala perjuangannya kini terbalas sudah. Fathimah yang juga ikut mendengar pun turut bahagia dan memeluk Aisyah.

“Baik, Bu, saya akan datang tepat waktu.” ujar Aisyah dengan penuh semangat.

***

Tak lama kemudian, semenjak hari itu sang ibu sadar dari komanya, walaupun tetap harus di rumah sakit untuk proses pemulihan. Kini mereka tak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit, karena uang yang mereka hasilkan selama bekerja dan uang bantuan dari keluarga Fathimah, lebih dari cukup untuk mereka membeli rumah yang sedang dan membayar administrasi rumah sakit.

Kini Aisyah telah sukses menjadi seorang penulis, motivator, dan juga pendakwah. Sementara perusahaan modelling milik ayah Aurel kini bangkrut dan mereka pindah keluar kota, lalu orang tua Sasa kini terlibat kasus korupsi dan keberadaannya tidak diketahui. Begitulah pahit asam manisnya kehidupan yang selama ini dijalani Aisyah. Dia selalu percaya bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, karena kuncinya adalah yakin dan tetap selalu berusaha.

 

TAMAT