Karya: Layli Nurul Islamiyah

 “Tidaaaakkkkkkkk! Ini nggak mungkin terjadi, tidaaakkkk!!”Rasanya hatiku bagai tersayat oleh pisau. Dan, aku hanya bisa menangis menerima keadaan ini.

*******

Semua berawal ketika aku berumur 17 tahun, di mana aku duduk di bangku kelas 3 SMA. Namaku Lisa, aku berada di kelas 12 MIA 1. Semua orang menganggap aku adalah murid terpandai di sekolah itu, bagaimana tidak? Aku selalu mendapatlan juara di setiap semester dan perlombaan apa pun di sekolahku. Dan ya, sudah jelas aku populer di sekolah.

“Lisa! Lihat, ada lagi yang mengirimimu surat nih, baca gih! Aroma kertasnya harum pula” ucap Ria, sahabatku sejak SMP. Setiap kali ada cowok yang menyukaiku, mereka selalu menitipkan suratnya pada Ria. “Terus? Maaf Ri, aku harus bilang berapa kali sih, aku nggak akan pernah membuka surat seperti itu. Kau tau sendiri kan bagaimana aku? Jadi aku minta stop ngasih ini ke aku, toh aku juga nggak akan pernah jatuh cinta sama cowok.” Jelasku padanya.

“Hm, sampai kapan si kamu begini? Lihat saja, suatu hari nanti akan ada seorang cowok yang mampu memikat hatimu Lis, aku yakin itu. Udah aku mau nemuin pacarku. Byeeee…” Dengan sangat percaya diri Ria mengatakan itu padaku dan langsung pergi keluar untuk menemui pacarnya. Dalam benakku itu serasa tidak mungkin bahwa aku akan jatuh hati pada seseorang. Oleh sebab itu, tak begitu aku gubris perkataan Ria tadi.

*******

Waktu pulang sekolah, aku harus pulang sendirian, karena sopir yang biasa mengantar jemputku sedang sakit dan tidak ada yang menggantikannya. Di tengah perjalanan tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Bukannya aku berteduh sambil menunggu hujan reda, aku malah menari-nari di tengah hujan. Ya, karena aku menyukainya. Aku menari-nari sampai-sampai aku tak tahu ternyata ada yang memperhatikanku. Sampai pada akhirnya…“Tiiiiiiiiiiinnnnn.” Suara bel mobil yang hampir menabrakku, namun dengan sigapnya ada seorang laki-laki yang menarik tanganku. Tanpa sadar dia memelukku. Aroma tubuhnya sangat wangi, dan “Oh astaga, kenapa jantungku berdegup dengan kencang.” Dalam benakku aku bertanya-tanya mengapa aku bisa merasakan ini. Sesaat kami hanyut dalam suasana, namun tersadar oleh petir yang bergemuruh.

“Hei, kau tak perlu berterima kasih.” Sombongnya, yang membuatku sadar bahwa dia bukanlah sosok laki-laki yang patut dikagumi. “Aiiishhhh, apaan sih? Iya iya terima kasih.” Sebalku membalas candaannya yang terdengar sombong. “Hahahahaha, aku Arya, kamu?” dia mengulurkan tangannya padaku untuk berkenalan. “Aku Lisa, udah ya aku mau pulang, byee!” aku pun berlalu dari hadapannya dan langsung meninggalkannya begitu saja. Tanpa ku sadari, pertemuan ini adalah awal dari segalanya, awal dari sebuah kisah yang tak pernah ku duga.

*******

Esoknya, aku sampai di sekolah, karena ayahku yang memarahiku soal kejadian semalam yang aku bermain hujan-hujanan. Ya, aku tahu kenapa beliau begitu, itu karena beliau sangat menghawatirkanku. Karena, semenjak ibuku meninggal ketika aku berusia 2 tahun, beliaulah selama ini yang merawat dan menjagaku. Beliau juga tidak pernah berpikir untuk menikah lagi, karena cintanya pada ibuku. Aku bangga memiliki ayah yang seperti itu.

Seketika aku hanyut dalam lamunan tentang ayahku, tapi… “Dorrrrrrrrrr!” lagi-lagi Ria yang menyebalkan ini mengagetkanku. “Kau mikir apa? Cowok yaaa, uuwwuuw deh.” Godaannya padaku. “Aish, sembarangan! Aku sedang memikirkan ayahku.” Jelasku sambil mengambil buku dari tas ku. “Hm, kau ini emang beda ya, untung saja aku baik hati dan tidak sombong, sehingga aku mau sahabatan sama kamu.” Ejeknya padaku sehingga membuatku memukulnya dengan buku.

Candaan kami pun berakhir dengan datangnya guru. “Anak-anak ini ada murid baru, silahkan memperkenalkan diri.” Bu guru yang sembari menunjuk ke murid baru. Awalnya aku tak menggubris pengumuman dari guruku, namun… “Salam kenal semuanya!” seketika aku yang sedang menulis langsung mengangkat kepala dan melihat siapa murid baru itu. “Perkenalkan saya Arya, salam kenal semuanya.” Dalam benakku aku berpikir, “Ya, dia laki-laki semalam.” Entah bagaimana aku bisa hafal suaranya.

Bu guru pun menyuruhnya duduk di bangku belakangku, saat berjalan menuju bangku dia menatap sambil tersenyum padaku. Jujur waktu itu rasanya hatiku mau meledak, entah mengapa aku bisa merasakan itu. Dan, sahabatku Ria yang duduk disebelahku dan merupakan perempuan paling peka sedunia langsung mengejekku.

“Hei kau, ada apa? Cieee pandangan pertama.” Ejeknya yang rasanya ingin ku memukulinya. “Enak saja, kami sudah pernah bertemu sebelumnya.” Balasku dengan cuek. “Uwwuuuww, jadi ini jodoh dong.” Ejeknya pun menjadi-jadi, akhirnya aku memukulnya dengan buku. “Sembarangan.”

*******

Kelas pun berlalu dengan cepat, ketika aku mau pulang sekolah. “Hei kau, naik.” Suara ini, ini adalah suara.. “Arya? Nggak usah! Aku nggak butuh tumpangan. Aku bisa pulang sendiri.” Aku telah menolaknya, namun seketika tanganku ditarik dan aku pun didudukkan di jok belakang motornya. Yaaa.. secara terpaksa aku pulang diantarnya.

“Kau tak perlu berterima kasih.” Di tengah jalan yang ramai dia masih sempat-sempatnya berkata demikian. “Aiishh paan sih, iya iya makasih.” Sebalku. “Eeh, nanti turunin depan gang aja ya.” Pintaku. “Loh kenapa? Tidak, aku akan menurunkanmu sampai tujuan.”. paksanya, “Hey, tapi.. Uwaaaaa…” Tiba-tiab saja dia langsung mengebut.

Akhirnya kami sampai dan dia langsung ku suruh pulang. Benar saja sampainya di dalam rumah, aku di marahi habis-habisan oleh Ayah. “Kau ini mau jadi apa? Pacaran aja! Siapa yang mengajari? Memang Ayah jarang ada di rumah, tapi bukan berarti kau harus seperti ini.” marahnya yang membuaku takut,”Ayah, aku tak pacaran, aku..” jelasku, namun Ayah tak menginginkan penjelasan dari ku. Setelah dimarahi cukup lama aku pun disuruh masuk ke dalam kamar. Dalam hatiku “Ya, inilah alasanku tak ingin jatuh hati pada siapa pun, karena aku telah terdidik sedemikin rupa untuk tidak memikirkan mengenai percintaan melainkan hanya fokus pada cita-cita.”

*******

Hari demi hari berlalu, karena Arya merupakan tipe orang yang mudah bergaul dengan siapun dia memiliki banyak teman, namun hanya aku yang paling dekat dengannya. Sampai-sampai orang mengira bahwa kami pacaran, padahal tidak, kami hanya berteman. Walau sebenarnya setiap hari yang ku lewati bersamanya ini, aku telah jatuh hati padanya. Cukup lama dan ku simpan baik-baik perasaan ini. Hingga, sahabatku Ria yang tau segalanya pun berkata, “Kau sangat jarang sekali jatuh hati pada seseorang, lalu mengapa kau pendam? Ungkapkan dong. Sampai kapan kau mau memendamnya?” aku pun memiliki pemikiran yang sama dengan Ria, tetapi aku punya alasan untuk tidak mengungkapkannya. “Tapi, Ayahku?”, ya itulah alasannya.

*******

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa hari-hari di mana aku akan berpisah untuk selamanya dengan Arya pun tiba. Hal bohong jika selama ini kami tidak pernah bertengkar serius, kami sering bertengkar, entah itu serius ataupun tidak. Dan itu yang akan aku rindukan.

Seperti biasa saat pengumuman juara 1 seangkatan selalu hal yang paling ditunggu-tunggu. Ketika semua merasa takut akan pengumuman, aku terfokuskan untuk mencari Ayahku, apakah dia hadir atau tidak, dan tentu saja dia tidak hadir.

Lalu beberapa saat kemuadian, ternyata namaku yang dipanggil untuk menerima penghargaan ini. Aku terkejut, bahagia, namun juga sedih karena Ayahku tak ada disini. Lalu, aku pun berjalan menuju atas panggung sembari mengucapkan sepatah dua patah atas penghargaan ini. “Terima kasih untuk semuanya, terima kasih untuk bapak ibu guru beserta teman-temanku yang selama ini membimbing dan mendukungku, dan aku paling berterima kasih pada Ayahku, dia adalah sosok yang paling berjasa dalam hidupku. Dia yang mampu membuatku menjadi seperti ini. Dia adalah sosok yang sangat keras tapi penyayang. Hmm.. sayang sekali dia tidak bisa hadir, nyesel dong pastinya nggak bisa hadir? Hahaha, aku bangga mempunyai Ayah sepertinya, yang mampu membuatku menjadi sseperti ini tanpa bantuan dari seorang Ibu.” Seketika aku menangis, dalam pembicaraan itu, semua orang pun ikut menangis. Dalam setiap kataku aku berharap Ayah mendengar hal ini, walau dia tidak datang, tetapi aku percaya dia pasti mendengarnya.

*******

Setelah selesainya acara, aku keluar ruangan dan Ayah langsung memelukku, aku terharu, ku kira dia tidak akan hadir. Ternyata aku salah, dia hadir. Suasana menjadi sangat menharukan bagiku. Hingga, akhirnya Ayah berkata “Aku bangga nak.” Aku bahagia sekali mendengar kalimat itu, sungguh itu adalah kalimat yang aku tunggu-tunggu.

Ayah pun, harus pulang duluan, dan hari ini aku akan mengungkapkan segalanya pada Arya. Aku memintanya untuk menemuiku di taman belakang sekolah, dan dia pun datang “Ada apa? Kenapa memanggilku di sini?” tanyanya, dan aku mulai bergetar ketika ingin mengatakannya, namun harus ku katakan. “Arya, akuu…aku.. aku mencintaimu, entah sejak kapan aku mencintaimu, intinya aku sangat mencintaimu.” Singkatku, namun Arya hanya diam.

Keheningan ini membuatku berpikiran macam-macam. Apa Arya tak suka? Apa dia malah akan membenciku? Beribu pertanyaan tengiang dalam otakku, hingga akhirnya terpecahkan dengan jawaban dari Arya. “Lis, jauhi aku” aku terkejut, apa maksudnya,”Sekarang ini aku membencimu, kita hanyalah teman dan sampai kapanpun akan menjadi teman, tetapi dengan begini. Hahaha kau membuatku kecewa. Pergi dari hadapanku.” Bentaknya padaku.

Rasanya sakit mendengar itu langsung dari mulut Arya. Akupun menangis tanpa henti, dan langsung berlari meninggalkannya. Aku berlari terus berlari, seketika hujan turun dengan derasnya. Tangisku pun semakin menjadi-jadi namun aku tetap terus berlari. Sampai akhirnya…

“Tiiiiiiiiiiiiiiiinnnnn! Brrakkk!!” sebuah mobil menabrakku, dan membuatku pingsan. Yang aku lihat waktu itu hanyalah wajah Arya, namun dalam benakku aku merasa bahwa aku hanya berhalusinasi, tak mungkin itu Arya, untuk apa dia menolongku. Beberapa saat kemudian aku langsung tidak sadarkan diri.

*******

Setelah waktu yang cukup lama aku tersadar, dan aku melihat Ayahku. Seketika Ayah langsung memanggil dokter, lalu dokter pun memeriksaku dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. “Ayah, aku di mana? Dan kenapa rasanya agak pusing?” aku bertanya sembari merasa lemas. “Kamu di rumah sakit dan kamu tidak sadarkan diri selama seminggu.” Aku terkejut ternyata sudah selama itu aku tertidur, namun aku bersyukur ternyata aku masih diberi kehidupan. Akan tetapi, aku merasa mataku agak ganjal entah mengapa demikian. “Ayah, rasanya mataku kok aneh ya? Kenapa ini?” awalnya Ayah hanya diam saja, namun pada akhirnya dia berkata. “Nak sebelumnya kau mengalami kebutaan, akibat kecelakaan itu, namun ada pria yang baik hati, dia rela mendonorkan matanya untukmu.” Dalam benakku aku bertanya-tanya siapa dia,”Ayah, siapa dia?” lagi-lagi Ayahku hanya diam, ”Nanti ya, Ayah ceritakan siapa dia.” Akupun hanya mengangguk.

*******

Saat aku telah diperbolehkan untuk pulang, Ayah pun langsung membawaku pulang. Sesampainya di rumah, aku langsung pergi ke tepi kolam renang, sembari merenung memikirkan Arya. Hmmm, aku merasa bodoh ketika memikirkannya. Lalu Ayah berjalan menuju kearahku, dan menemaniku berbincang-bincang. “Kau kenapa nak?” aku hanya menggelengkan kepala, “Hmm, Arya ternyata anak yang sangat baik ya.” Seketika aku terkejut mendengar ucapan Ayah. Namun saat aku ingin marah, Ayah memberikan sebuah surat padaku.”Bacalah.”

Dear lisa,

Jika kamu menerima surat ini  berarti kamu sudah melihat dunia, dan ini adalah kata terakhir dariku untukmu. Lis, sebelumnya maaf, karena aku menolakmu waktu itu kau jadi mengalami kecelakaan. Jujur saja, aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Namun, aku menolakmu dulu karena, aku tak ingin menyakitimu, aneh ya? Kau boleh membenciku, karena kau berhak membenciku atas apa yang telah ku lakukan. Namun, aku ingin bilang untuk yang terakhir kalinya bahwa walau kau membenciku aku akan tetap mencintaimu.

                                                                                                                                                            Arya,

Aku terkejut, kutanyakan pada Ayah apa maksudnya. Ayah pun menceritakan kejadian saat aku kecelakaan. Dan aku pun menangis tersedu-sedu. Aku tak tahu, ternyata yang aku lihat sebelum aku pingsan memang Arya dan mata ini, adalah mata Arya. “Tidaaaakkkkkkkk! Ini nggak mungkin terjadi, tidaaakkkk!!” rasanya hatiku bagai tersayat oleh pisau. Dan, aku hanya bisa menangis menerima keadaan ini.

*******

Setelah 5 tahun berlalu, aku melihat dunia ini dengan matanya Arya. Dia telah pergi jauh, namun kenangannya masih tetap ada. Sekarang ini aku adalah seorang dokter mata di salah satu rumah sakit terkenal di seluruh Indonesia ini. Aku memilih pekerjaan ini dengan harapan aku bisa bertemu dengan Arya, walau sebenarnya itu adalah hal yang tak akan mungkin terjadi.

Saat perjalanan pulang, aku kehujanan, dan aku mencari tempat berteduh terdekat. Sembari berteduh, aku teringat akan masa lalu, masa di mana aku pertama kali bertemu dengannya. “Arya, aku merindukanmu.” Tiba-tiba ada seseorang tanpa sengaja menabrakku, dan buku-buku yang dibawanya pun terjatuh semua. Lalu, aku membantunya. “Maaf” seketika tanganku yang membantu mengambil buku-bukunya pun terhenti,”Suara ini..” benakku.”Aku tadi tak sengaja.” Spontan aku menatapnya sembari berkata, “Arya?”

***SEKIAN***