Penulis: Habib Muzaki, Pimred LPM Forma

 

 

“Dosen Ghaib: Diam Absen Mengajar, Bergerak Memberikan Ujian,” menjadi judul yang dipilih Irsyad untuk tulisannya. Suara ketikan papan keyboard dari komputer tak hentinya mewarnai heningnya malam. Laki-laki berkacamata itu terus menatap layar komputer dengan teliti. Mengoreksi kata demi kata, paragraf demi paragraf. Di dalam kantor Pers Mahasiswa itu, hanya ada ia seorang. Merangkai sekumpulan narasi berisi kritik. Kepada siapa lagi kalau bukan untuk dosen di kelasnya yang sangat ia hormati, sekaligus ia “benci”. Seorang dosen lulusan Amerika yang retorikanya menyihir Irsyad di saat ia masih menjadi mahasiswa baru.

“Agama adalah candu,” ujar dosen itu dalam sebuah kelas. Agama adalah candu, merupakan pernyataan yang cukup populer. Pernyataan Karl Marx ini sering diangkat dalam diskusi mahasiswa-mahasiswa untuk menggambarkan keadaan suatu masyarakat yang dinina-bobokan dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan. Ayat-ayat yang sengaja dimonopoli maknanya untuk memuluskan kepentingan-kepentingan penguasa.

“Ada penguasa yang menginginkan kemiskinan dipelihara. Ia lalu banyak memberikan bantuan secara langsung.”

“Lalu apa salahnya?” ujar mahasiswa paling pintar di kelas itu yang keheranan. Yang sesegera dijawab oleh dosen itu dengan menjelaskan tentang ketidakmerataan sosial. Ia lalu menceritakan gambaran soal penguasa yang menginginkan rakyatnya tetap miskin. Maka banyak diberikan bantuan langsung berupa uang atau sembako, terlebih menjelang pemilihan umum. Bantuan seperti itu menawarkan kebahagiaan instan dan di depan mata. Padahal, dengan kapasitas keilmuan dan dana daerah yang dimiliki, orang-orang di pihak penguasa itu mampu memberikan layanan pemberdayaan. Dosen itu melanjutkan, “Daripada orang lapar kita beri makan terus-terusan yang mengakibatkan ketergantungan, lebih baik kita ajari orang itu untuk mencari dan memasak makananan. Itulah mengapa pemberdayaan menjadi penting”

“Lalu apa hubungannya dengan agama?”

“Agama tidak salah, melainkan oknum yang memakai beberapa ayat-ayat untuk melegistimasi kondsisi kemiskinan tadi. Seakan-akan Tuhan menurunkan kemiskinan dan kita harus menerimanya begitu saja. Orang-orang miskin pun diajak untuk menerima seakan-akan itu takdir  Tuhan, dan hanya perlu diam menerima. Lantas agama dijadikan candu, sebuah pelipur sementara untuk keadaan yang memuakkan ini. Padahal kita harus merubahnya. Padahal kemiskinan itu lahir dari kepentingan penguasa yang berorientasi kepada golongan tertentu. Kemiskinan itu diciptakan penguasa, dipertahankan agar dari rakyat-rakyat miskin ini tidak memiliki privilege. Hidup mereka direkayasa seolah hanya untuk mencari uang dan menyambung hidup. Lalu mana sempat memikirkan pendidikan di tingkat lanjut? Jika tidak mendapatkan kesempatan untuk mengakses pendidikan setinggi mungkin, mana sempat mengkritisi penguasa bahkan merubah sistem?”

“Tapi Prof, memang kemiskinan adalah takdir Tuhan, dan itu dilegistimasi oleh agama,” bantah seorang mahasiswi dengan membeberkan banyak dalil. Ia lalu melanjutkan “Bukankah agama memang berfungsi sebagai penenang bagi kehidupan manusia? Daripada sebagai candu, kita bisa memaknai agama sebagai obat atas kondisi kita. Sembari menjadikan agama sebagai sumber nilai untuk melakukan perubahan, termasuk meruntuhkan kekuasaan yang dzalim tadi.”

“Menarik! Ini yang saya harapkan. Begini anak-anakku, kelas adalah tempat diskusi paling bebas untuk menguji gagasan. Maka, pekan depan saya harap semua menyiapkan tulisan untuk menanggapi apa yang bapak katakan tadi. Keluarkan pendapat kalian sebebas mungkin dengan menggunakan perspektif apapun. Kita lanjut membahas ini pekan depan,” tutup dosen tersebut dengan senyum sembari mengabsen para mahasiswanya.

Padahal dalam hati kecil Irsyad, ia ingin sekali bertanya tentang siapa penguasa yang dimaksud tersebut. Dosen yang menarik. Tapi entah kenapa di semester ini, ia sering tidak masuk. Dan, banyak lagi dosen yang seperti itu. Tau-tau datang pas ujian dan memberikan banyak sekali soal dan tugas. Ketika beberapa mahasiswa meminta keadilan kepada Kepala Prodi, percuma saja. Semua itu menjadi kegelisahan, yang menjadi bahan bakar Irysad untuk terus menulis. Berharap tulisannya akan minimal membangkitkan kesadaran mahasiswa. Tulisan yang sebenarnya adalah bentuk cinta dan rindu kepada dosennya tersebut.

Sampai jam dinding menunjukkan pukul 12 malam. Ia memutuskan untuk pulang. Dari lantai dua gedung fakultasnya, terlihat sepi sekali. Biasanya ada anak-anak organisasi yang melakukan kegiatan kajian di sudut-sudut fakultas. Atau sekedar diskusi renyah bertemankan asap tembakau. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini mulai jarang terlihat. Ia lalu menuruni lantai dua dengan santai, walau banyak yang berkata bahwa suasana malam agak menyeramkan. Ia tak pernah takut. Ia bahkan pernah tidur sendirian di kantor Pers Mahasiswa saat liburan semester. Lalu keluar pada sekitar jam satu pagi untuk muter-muter kampus sembari merokok ketika buntu saat menulis.

“Tidak akan ada apa-apa,” ujarnya pada diri sendiri yang sangat yakin. Apalagi ia memang suka membaca buku-buku filsafat yang semakin membuatnya yakin bahwa semua itu hanya sugesti yang terkonstruk oleh lingkungan sosial. Memang banyak lampu yang terkadang mati sendiri lalu hidup kembali dengan cepat. Namun baginya, itu disebabkan oleh pihak kampus yang abai dengan fasilitas. Tiba-tiba terbesit di pikirannya untuk menulis sebuah esai kritik terkait hal ini. Irsyad memang suka menulis, walau lebih banyak waktunya yang tersita oleh mager.

Ia lalu melewati lantai satu fakultas. Dingin sekali malam ini, yang membuatnya mendekapkan kedua tangan ke tubuhnya sendiri. Tidak ada siapapun, bahkan satpam yang biasanya keliling kampus juga tidak. Sampai matanya terpaku pada gazebo di halaman fakultas. Terlihat seorang perempuan yang sedang terlihat mengemasi buku-bukunya ke dalam tas.  Perempuan yang mencuri perhatiannya beberapa waktu belakangan. Bukan hanya karena parasnya yang putih pucat dan tatapannya yang dingin, atau rambut panjangnya yang terurai. Ada semacam magnet yang membuat Irsyad selalu mencuri pandang di setiap momentum. Perempuan itu sering terlihat duduk sendiri sembari membaca buku. Namun ia tak pernah berani menyapanya.

“Sepertinya ini pertemuan yang ditakdirkan Tuhan,” ujarnya meskipun tadi ia lupa melakukan sholat. Dari lubuk kejombloan yang paling dalam, ia ingin sekali berkenalan dengan perempuan misterius tersebut.  Tapi sialnya jiwa-jiwa keintrovertannya bergejolak. Ia yang memegang gelar jomblo paling konsisten seangkatan di fakultas, mana bisa frontal seperti itu. Ia tak mengetahui siapa namanya, dari prodi mana, dan angkatan berapa. Sejauh yang diketahuinya, perempuan itu hanya penyendiri yang bertemankan buku. Irsyad menghela nafas sebentar. Berusaha membulatkan tekad untuk sekedar menyapanya lalu segera pulang. Hanya dengan melakukan itu, adalah sebuah kemenangan besar baginya!

“Mbakk, jalan kaki ta? Bareng yuk sampai gerbang kampus,” ujar Irsyad yang heran dengan sikap spontannya. Padahal niatnya hanya menyapa saja. Eh, ini malah mengajak jalan bersama. Dari mana keberanian semacam itu timbul? Tapi untungnya perempuan itu mengiyakan meskipun terlihat sedikit heran juga. Memang, siapapun yang melihat Irsyad pada pandangan pertama akan melihatnya sebagai wibu, anak cupu yang hanya suka baca buku dan terlihat seperti mahasiswa kupu-kupu.

Mereka lalu berjalan bersama. Lelaki itu hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gugup.

“Namanya siapa Mas?”

“Eh, a… aku Irsyad. Kalau mbaknya?”

“Alamanda.”

Lalu keheningan kembali mewarnai perjalanan mereka berdua. Lelaki itu benar-benar bodoh mengawali percakapan. Sembari melewati bangunan demi bangunan fakultas, ia terus memutar kepala mencari topik apa yang bisa dikatakan. Sementara udara dingin terus berhembus, seperti menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Irsyad lalu mengamati gedung-gedung di kampusnya yang semakin mewah dari semester ke semester. “Kampus kita tambah maju ya? Lihat tuh gedung-gedungnya,” ujar Irsyad basa-basi.

“Memang,” ujar Alamanda tanpa ekspresi. Ia lalu melanjutkan, “Tapi bagaimana kalau pihak kampus akan menaikkan UKT mahasiswa kedepannya? Bukankah kampus-kampus hari ini hanya mengejar predikat dan eksistensi? Saat gedung-gedung semakin megah, kampus memiliki alasan untuk menaikkan UKT. Bagaimana jika nantinya masyarakat kelas menengah ke bawah sulit mendapatkan akses pendidikan karena mahalnya UKT?”

Irsyad terdiam sejenak. Berpikir agak keras, “Itu bukan sebuah fakta kan?”

“Lebih amannya, kita sebut saja sebagai sebuah pertanyaan. Semoga suatu saat, pihak yang menguasai datanya bisa angkat suara,” ucap perempuan itu, yang lalu tiba-tiba mengajak Irsyad memikirkan banyak sekali hal; mulai dari kondisi perjuangan mahasiswa hari ini, isu-isu hukum, agama, agraria, ekonomi dan respon mahasiswa, sampai apa saja yang sudah dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di kampusnya, berapa anggaran yang mereka terima dari kampus, digunakan untuk apa saja. Irsyad hanya diam plonga-plongo. Lebih geleng-geleng lagi di saat ia menyadari bahwa Presiden Mahasiswa di kampusnya itu, hanya eksis saat Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) saja melalui pamflet-pamflet ucapan selamat.

“Ah, mungkin aku saja yang tidak tahu kinerja mereka. Atau jangan-jangan mereka bekerja dalam diam, bekerja dengan ikhlas. Yang penting hasil kerjanya, bukan eksistensinya,” ujar Irsyad berusaha khusnudzan.

“Tidak tahu? Bukankah kamu anggota LPM?” Tanya Alamanda yang seketika membuat lelaki itu tekanan mental. Dengan memasang senyum, perempuan itu hanya melanjutkan, “Apa hanya kita yang mempertanyakan hal semacam ini? Bagaimana dengan para aktivis kampus? Atau benar katamu, jangan-jangan kita saja yang memang tidak tahu apa-apa?”

Irsyad hanya diam, kebingungan menjawabnya seperti mahasiswa yang tidak pernah masuk kampus lalu tiba-tiba mendapatkan ujian lisan. Lelaki itu hanya berusaha mengubah topik pembicaraan dan bertanya, “Lalu bagaimana menurutmu soal isu pelecehan seksual? Bukankah hanya tersisa rumor-rumor tanpa kita tahu bagaimana tindak lanjut dari pihak berwajib?”

Wajah perempuan itu seketika menjadi muram, terdiam dan hanya menggelengkan kepalanya. Entah kenapa Irsyad seperti merasa bersalah. Sepertinya ada kata-katanya yang kurang pantas. Tapi yang paling Irsyad sesalkan adalah senyum itu yang berubah menjadi muram. Padahal itu adalah sebuah senyum yang manis. Dan, ia kembali memutar otak untuk membuat senyum itu tersungging lagi. Sampai ia hanya bisa membatin, “Mau ngelawak tapi takut garing.”

Sampai tak terasa bahwa mereka sudah mapir sampai di gerbang kampus. Hanya terlihat dua orang satpam bercengkrama sambil menikmati malam yang syahdu ini. Begitupun Irsyad, yang juga menikmati malam yang dingin ini dengan hati yang berbunga-bunga. Kapan lagi seorang sepertinya bisa jalan berdua dengan seorang perempuan itu. Terlebih dengan diskusi berbobot yang sudah lama tidak ia dengar meskipun di warung-warung kopi. Lalu tercetus harapan bahwa siapa tau setelah ini mungkin ia bisa mengajaknya makan, sambil bercengkrama, bertukar nomor WhatssApp lalu banyak melakukan diskusi yang intens kedepannya.

“Mbakknya enggak takut pulang malam-malam gini? Jalan kaki pula.”

“Kenapa emang?”

“Sepi banget mbakk, apalagi fakultas kita itu lokasinya paling jauh sama gerbang kampus.”

“Kamu takut?”

“Tidak sama sekali.”

“Kalau aku jelas takut sih.” Wajah datar perempuan seketika tersenyum kembali meski tatapannya terlihat kosong.

“Oh gitu.”

“Tapi itu dulu, ketika aku masih hidup.”