Penulis: Achmad Fauzi Nasyiruddin

Editor: Habib Muzaki

 

“Mendidik rakyat dengan penindasan, mendidik penguasa dengan perlawanan.”  –Anyong Latupono

 

Jika kau tak mau dilawan maka jangan menguasai, dan jika kau tak mau ditawan, maka jangan mau dikuasai. Itulah resep sederhana membangun kehidupan tanpa hierarki penindasan. Menuju tatanan hidup yang berkesetaraan, bebas, dan merdeka. Resep itu takkan kau dapati di lomba masak, adu-bakat, dan kompetisi nyanyi di televisi.

Politik “atas nama” adalah sebutan untuk praktik politik hari ini. Ia lahir dari, oleh, dan untuk kekuasaan. Agar diterima publik, dimainkanlah bahasa “kerakyatan” di dalamnya. Kun fayakun, jadilah politik atas nama rakyat, lewat ajang debat, dan saling babat. Hebat. Ya, Indonesia memang hebat.

Mengingat perkataan Bung Karno yang terjejak dalam kumpulan tulisannya dalam Di Bawah Bendera Revolusi, “Jangankan manusia, cacing pun tentu begerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit.” Perkataan tersebut adalah keniscayaan dari kausalitas (hukum sebab-akibat) yang meliputi semesta raya ini. Bahwa takkan ada manusia yang mau hidupnya dihisap apalagi ditindas oleh manusia lain. Semakin air itu ditekan, semakin besar muncratannya ke atas. Semakin manusia ditindas, semakin manusia membuas. Itulah hukum sebab-akibat. Hukum alam dan akal-sehat. Tan Malaka menyebutnya natuurkunde.

Konsekuensi keyakinan manusia terhadap kausalitas seharusnya berlaku mutlak. Sayang, realitas hari ini berkata lain, besarnya keyakinan terhadap kausalitas kalah dengan besarnya gelombang nafsu untuk berkuasa. Secara de facto, di bawah kekuasaan kapitalisme sebagai kelas penguasa hari ini, dengan invisble hand dan segala bentuk kreatifitasnya mengelola penindasan terjadi secara halus, dan itu terbukti hampir berhasil seratus persen sebab rakyat sebagai kelas yang ditindas tidak seperti yang dikatakan Bung Karno, begerak berkeluget-keluget, tidak ada perlawanan, tidak ada pemberontakan. Hanya diam dan menerima secara sukarela. Mungkin inilah voluntary effect yang diteorikan Antonio Gramsci hampir seabad yang lalu.

Perang konvensional terlalu kuno untuk diterapkan, perang opini dan informasi lebih “mematikan”, Proxy War sebutannya, perang proxy tak butuh meriam-bedil-senapan. Tak perlu. “Untuk memenangkan perang, kau tak perlu menyerang fisiknya, cukup jajah wacananya,” Michel Foucault mengingatkanku dalam diskusi imajiner sebelum tulisan ini dibuat.

Paradigma suatu bangsa adalah cerminan dari ideologi negaranya, dan ideologi negaranya adalah hasil rekayasa para penguasanya. Negara secara masif-intensif menjajah wacana rakyatnya untuk lupa tentang tujuan bernegara. Penguasa menjalankan negara “seolah-olah” negara, dan rakyat secara tak sadar menyepakatinya dengan sukarela, dan ironisnya, tak sedikit yang mendukung dan berjibaku dalam realitas palsu (realitas yang dipalsukan) tersebut.

Semakin kreatif penguasa menggiring alam-pikir rakytanya, semakin nyaman sebuah kekuasaan berpucuk.

Pentingnya kreatifitas –daya cipta– penguasa dalam berkuasa memiliki arti agar yang dikuasai patuh terhadap (kehendak) penguasa. Bahkan tidak hanya sebatas itu, mereka (yang dikuasai) harus memberi persetujuan atas ke-subordinasi-annya. Sehingga pemberlakuan PHK, Outshorching, Upah murah, Jam kerja tidak manusiawi, dan lain sebagainya harus disetujui sebagai sesuatu (aturan) yang layak diberlakukan. Meski secara rasionalitas dan kemanusiaan tidak layak. Sangat tidak layak!

Itulah yang dimaksud Antonio Gramsci sebagai puncak kekuasaan satu kelas terhadap kelas lain. Kekuasaan bekerja tanpa membuat yang dikuasai merasa dikuasai. Dengan kata lain, rakyat dibuat bertekuk-lutut dengan ketak-sadarannya terhadap penguasa. This is hegemoni!

Bagaimana dengan Indonesia hari ini? Selama masih ada gerakan kontra-penguasa, masih ada tulisan-tulisan perlawanan, dan postulat perubahan, maka selama itu kekuasaan belum mencapai kebehasilannya seratus persen. Ia (kekuasaan) masih bisa diruntuhkan-dirontokkan, berangkat dari sabda Al-Chartill bahwa, “Perubahan itu datang dari gerakan yang paling kecil, dan terkecil sekali.”

Nelson Mandela mengatakan, “Pendidikan adalah senjata yang paling kuat untuk mengubah dunia,” Paulo Freire meng-iyakan dengan sedikit menyederhanakan, “Pendidikan adalah alat pembebasan.” Entah pembebasan dari buta-huruf, kebodohan, ketidak-tahuan, sampai ketidak-sadaran bahwa manusia (sesungguhnya) masih ditindas. Sebab penindasan, apapun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi (dehumanisasi). Pendidikan sebagai proses dialektika yang memanusiakan manusia (humanisasi).

Tulisan ini hanya akan “bernyawa” di tangan Pemuda-Mahasiswa, mereka kaum intelektual yang integral dengan masyarakat. Di tangan pekerja-buruh, tulisan ini tak ada nilainya, sebab yang terpenting bagi buruh, pekerja, dsb, adalah memenuhi kebutuhan. Selama tulisan tak memberi uang maka selama itu tulisan tak ada maknanya. Maka hanya Pemuda-Mahasiswa-lah embrio perubahan terbentuk.

Harus diakui, tingkat kesadaran rakyat akan ketimpangan dan penindasan sangat rendah, sebab seperti yang diurai di atas, penguasa mempunyai beragam kreatifitas dalam membungkam hasrat pemberontakan rakyatnya. Misalnya: secara institusional dicanangkan program jaminan kesehatan, gaji-13, THR (tunggakan hari raya) dll. Padahal sebenarnya pekerja-buruh wajib mendapatkannya, bahwa program-program demikian bukanlah bonus melainkan hak setiap pekerja-buruh.

Disinilah tugas Pemuda-Mahasiswa dalam melakukan pembebasan lewat pendidikan. Pertama, Pemuda-Mahasiswa harus meningkatkan intensitas propaganda pencerahan terhadap masyarakat tentang kebohongan penguasa dalam kehidupan bernegara yang ideal. Hal ini bisa disebut juga pendidikan sosio-kultural, tak perlu institusi formal, yang penting tingkat pencerahnnya dimasif-intensifkan.

Kedua, sembari melakukan propaganda pencerahan, Pemuda-Mahasiswa harus menelanjangi topeng penindasan yang terjadi selama ini setelanjang mungkin agar disadari oleh pekerja-buruh dan seluruh elemen masyarakat bahwa sesungguhnya ada ketidak-adilan yang selama ini diperagakan oleh penguasa.

Ketiga, untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan point pertama dan kedua di atas maka Pemuda-Mahasiswa harus pro terhadap segala bentuk kebijakan penguasa yang tidak berpihak terhadap rakyat, hal ini bertujuan agar rakyat bisa semakin sadar bahwa ketimpangan dan penindasan itu nyata adanya. Posisi Pemuda-Mahasiswa di sini adalah sebagai penyingkap tirai kepalsuan penguasa. Ingat kausalitas (hukum sebab-akibat), akibat itu lahir dari sebab-sebab yang mencukupi, air mendidih pada suhu 100 derajat celcius. Derajat celcius adalah sebab, air mendidih adalah akibat. Jika diibaratkan, air mendidih adalah perubahan, 100 adalah angka penindasan, derajat celcius adalah penguasa.

Jika penguasa melakukan penindasan hanya pada suhu 80 derajat maka perubahan takkan mendidih. Perubahan takkan terjadi. Perubahan sebagai akibat harus dipenuhi dengan sebab-sebab yang tepat-memadai. Maka, tugas dari Pemuda-Mahasiswa adalah memaksimalkan penindasan agar rakyat lebih cepat tersadarkan. Semakin air ditekan, semakin muncratannya lebih besar. “Jangankan manusia, cacing pun tentu begerak berkeluget-keluget kalau merasakan sakit.” Sekali lagi tegas Bung Karno.

Inilah cara revolusioner demi dan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan kita, kemanusiaan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan, dengan cara inilah, Bung Karno membuat rakyat Indonesia bisa bergerak berkeluget-keluget. Ya, mendidik dengan penindasan, mendidik dengan perlawanan. Karena cinta, dengan atau tanpa selongsong senapan.