Oleh; Muhammad Lutfi Khilmi

Dewasa ini toleransi seolah menjadi parameter akan keluwesan seseorang dalam beragama, entah dari segi praktik mapun pengamalannya terhadap fenomena-fenomena keAgamaan yang akhir-akhir ini kerap menyelimuti negara ini. Didasari dari konflik politik, sosial, dan lain sebagainya yang semuanya mengatas namakan Agama, kita seperti diuji seberapa siap dan kuatnya jiwa toleransi kita untuk tidak mengklaim orang Islam sebagai teroris bagi minoritas, dan tidak mengintimidasi minoritas bagi umat muslim yang mayoritas dinegara ini.

Layaknya toleransi, beberapa hal juga perlu ditumbuhkan pada tiap-tiap kita yang beragama, yakni kebesaran hati untuk menerima. Sebab dari sekian perjalanan penulis bergaul dengan mereka yang berbeda dari segi Agama, porsi toleransi dan menerima jelas terlihat sangat berbeda. Bila bertoleransi masih memiliki batasan-batasan yang tidak bisa dijangkau, maka dengan menerima kita akan lebih terjaungkau. Pada hal-hal sensitif, hal-hal yang rentan menimbulkan kekerasan, ketakutan akan menyakiti hati dalam bermonolog juga berdialog merupakan pembatas yang dengan rasa menerima perbedaan, mungkin kita dapat meredamnya.

Berfokus pada ajaran islam, islam sndiri adalah Agama yang rahmatan lil’alamin, bukan rahmatan lilmuslimin, sebagaimana kita beribadah, bermuamalah, segalanya tertuju pada Allah, bukan pada Agama. Dari pemahaman sederhana ini, kita dapat mengambil simpulan bahwasanya beberapa kelompok maupun individu yang melakukan kekerasan atau intoleran terhadap Agama lain sangat-sangat tidak didasari oleh Agama, melainkan didasari dengan kekacauan mereka dalam mempelajari Agama yang salah kaprah. Fitrah agama sendiri semuanya mengajarkan untuk tidak menyakiti manusia manapun, bahwakan yang tidak bernyawa. Mengingat Nabi sendiri yang dulu dibantai oleh kau Thaif, yang mana malaikat jibril juga siap untuk mendoakan kaum Thaif agar dibinasakan, namun nabi sendiri lebih memilih untuk mendoakan kau Thaif agar mendapat hidayah dengan doanya yang terkenalAllahummaghfirli liqoumi fainnahum laya’lamun”. Maka bila bebrapa golongan atau individu yang mempromosikan kekerasan Agama dengan membawa Agama, dapat dimengerti bahwa itu bukan Agama, melainkan kepentingan.

Kembali kepada toleransi, bahwa yang sebenranya membuat kita berat untuk bergaul dan bercengkrama terhadap mereka yang berbeda Agama sebenarnya bukan sebab perbedaan, melainkan berangkat dari kurangnya keterbiasaan. Selama kita sudah terbiasa bergaul dengan mereka yang tidak seAgama, akan ada perasaan baru yang timbul, salah satunya adalah kesalahan persepsi kita akan ketakutan pada hal-hal yang ternyata itu tidak terjadi, intimidasi, intolerasi, dan tidak diterima. Karna pada nyatanya, Agama pun tidak bisa membatasi manusia dalam berosial, sebaliknya Agama malah memfasilitasi. Entah beda tapi sama atau beda tapi mesra, perbedaan tidak semenakutkan yang kita kita. Merangkul yang tak sama dalam beragama, memberi senyum pada mereka yang hendak berangkat beribadah ke Gereja. Karna perduli itu pada sesama, bukan pada yang seAgama.