Oleh: Salman Alfarizy/ Mahasiswa UIN Sunan Ampel
Tidak sedikit dari sekian banyak orang memahami agama tidak memiliki implikasi dengan budaya. Jikalau ada, tidak sedikit pula yang salah memahami mana kategori ranah agama dan budaya. Padahal, ketika membincang agama, mengikuti Emile Durkheim, setidaknya ada dua hal aspek dimensi yang bisa dijadikan lokus pembahasan. Pertama, agama ditilik dari dimensi kesakralan. Dimensi ini menyangkut seperangkat iman, hukum, aturan dan larangan.
Aspek kesakralan bersifat ahistoris. Karena aspek ini mirip, bahkan dapat dikatakan sebagai ideologi, yang terlepas dari ruang dan waktu. Ia jauh menyelami kesadaran individu, menjalar hingga membentuk pola pemahaman, mempengaruhi perilaku, mengatur tindakan dan mengontrol perbuatan. Oleh sebab itulah ia kasat mata. Ia tidak dapat diketahui kecuali seseorang mengimplementasikan dalam bentuk kenyataan, misal perbuatan.
Berbeda halnya dengan dimensi kesakralan yang bersifat epifenomena, dimensi kedua, aspek keprofanan, bersifat historis, nyata, terealisasi di dalam ruang dan waktu. Ringkasnya, agama sebagai realita sosial. Jika kesakralan menyangkut hal bathiniah, keprofanan menyangkut segala hal lahiriah. Sekalipun dua hal ini berbeda, namun keduanya bukan berarti berdiri secara independen. Keduanya memiliki simbiosis yang tak dapat dipisahkan. Aspek bathiniah mempengaruhi lahiriah, sebaliknya aspek lahiriah dapat dijadikan sebagai alat kognitif untuk menilai kedalaman atau kesungguhan bathiniah seseorang.
Sebab hal kesakralan membutuhkan wadah implementasi berupa keprofanan, atau mengoptimalkan dirinya hanya dalam bentuk keprofanan yang terletak di realita sosial atau dunia real, yang dapat diamati sekaligus diteliti, mau tidak mau ia harus berkolaborasi dengan budaya. Di sinilah letak implikasi antara dimensi agama dan budaya. Sehingga, hukum, perintah, aturan dan larangan yang merupakan aspek kesakralan secara bersamaan juga dapat merupakan aspek keprofanan.
Tidaklah sulit memberikan pemahaman dengan jalan permisalan. Misal saja shalat, zakat, puasa dan haji. Kesemua ini tergolong aspek kesakralan yang terkategorikan epifenomena. Adapun melakukan shalat, zakat dan haji, merupakan aspek profan dan merupakan fenomena yang dapat diamati sekaligus terkolaborasi dengan budaya. Bahkan, secara “ekstreme” bisa dikatakan, (ber)sholat, (ber)zakat, (ber)haji adalah budaya itu sendiri.
Ketakterpisahan dimensi kesakralan dan keprofanan inilah pemicu kelahiran permasalahan fenomena pemeluk agama kebanyakan. Celakanya, sering kali pemeluk agama terjebak dalam jurang ketakmampuan memisahkan dimana dimensi kesakralan dan keprofanan. Baik ketakmampuan itu disebabkan oleh faktor salah paham ataupun paham salah. Sehingga, tidak jarang orang beranggapan budaya adalah agama. Seperti fenomena puisi putri bapak proklamator, Sukmawati. Pasalnya, Sukmawati terindikasi telah melakukan penistaan agama karena menyamakan, bahkan beranggapan bahwa suara kidung lebih baik dari pada suara adzan. Padahal, hemat penulis, belum tentu itu adalah penistaan agama.
Menyikapi hal ini, sekurangnya ada tiga gagasan untuk menyikapi persoalan. Pertama, haruslah terlebih dahulu memisahkan adzan sebagai dimensi sakral dan profan. Lebih jauh, Sukmawati berkata dalam puisinya “suara adzan”, bukan “adzan”. Maka, maksud dari kata suara adzan ini lebih tertuju kepada (ber)adzan seseorang, bukan adzan sebagai panggilan peringatan masuk waktu shalat. Maka, lebih tepatnya (ber)adzan di sana ialah dimensi keprofanan, sehingga adzan di sana terkategorikan dari salah satu praktik budaya.
Setelah memahami bahwa (ber)adzan sebenarnya adalah dimensi keprofanan, berlanjut kepada penyikapan kedua, adzan vs kidung. Sebelum memasuki pembahasan kedua lebih mendalam, menyelami psikis Penulis untuk sampai kepada memahami keinginan Penulis, serta mengetahui bagaimana tipikal kidung yang merupakan budaya Jawa kuno, menjadi sesuatu yang preferensi. Hal pertama Penulis di sana, dalam puisinya, hanya ingin mengapresiasi atau ekspresi dari kebanggaan akan warisan nenek moyangnya yang tak kalah baik dari pada budaya selainnya. Bisa pula dikatakan, Penulis tak ingin gema adzan menjadi penyebab keterkikisan budaya nenek moyang.
Hal terakhir tentang kidung. Adzan merupakan seruan untuk mengingatkan orang muslim untuk melaksanakan kewajiban shalat lima waktu. Sementara kidung, kebanyakan berisi nasihat, ajaran, larangan dan falsafah hidup orang Jawa, yang mengimplementasikan nilai-nilai Islam. Dalam hal ini, keduanya sama-sama saling mengingatkan untuk mengingat Tuhan dengan menjalankan perintah dan menghindari larangannya. Hanya saja keduanya mempunyai jalan yang berbeda, namun esensinya sama.
Malahan, kidung merupakan media berdakwah sekaligus ajaran para wali Jawa untuk mengajarkan ajaran tasawwufnya. Selain itu, kidung juga digunakan sebagai media cara berwirid seorang wali. Misal saja Sunan Kalijaga dengan kidung lingsir wenginya. Dalam kidung tersebut tergambar perasaan kerinduan seorang hamba kepada Tuhannya. Ada juga kidung lir-ilir dan joko pentil, yang tak lain merupakan kidungan untuk anak kecil, guna mengajarkan pentingnya mencari ilmu dan menegakkan tauhid untuk mencapai kebahagiaan kelak.
Mengetahui gagasan penyikapan di atas, sampailah kepada kesimpulan, jika Penulis lebih memilih kidung sebagai pilihan dan preferensi dari pada adzan, yang mana keduanya tak lain suatu keprofanan, hal itu adalah hak prerogatif Penulis.