Penulis: Hilaliyah Islamiyah
Editor: Sabitha Ayu Nuryani

Sumber: Pinterest.
Gadis remaja keturunan Jawa-French berusia 19 tahun sedang dilanda kebimbangan, di mana ia harus memilih salah satu kesepakatan yang dibuat oleh kedua orangtuanya. Papanya menawarkan ia untuk terus melanjutkan kuliah di Paris sedangkan mamanya menginginkan ia untuk tinggal di Indonesia secara mandiri dengan alasan agar ia lebih mengenal tanah kelahiran mamanya. Dan perlu diketahui, gadis ini tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki di Indonesia akan tetapi ia fasih berbahasa Indonesia walau tidak bisa berbahasa Jawa. Dari sinilah ia menemukan banyak tantangan, cerita, bahkan pengalaman.
Pada suatu hari, ia mendengar sebuah percakapan antara papa dan mamanya,
“Pa, gimana kalau Adrienne kita pindah tempatkan ke Jawa? Ia sudah 18 tahun tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia.” kata mamanya.
“Tapi, Ma, Adrienne sudah sejak kecil di sini, apakah ia sanggup untuk tinggal di Indonesia tanpa kita? Sedangkan, ia sudah mempunyai kesibukan berkuliah di sini.” jawab papanya.
“Pasti dia bisa, dia adalah gadis yang tangguh. Papa tau sendiri kan bagaimana dia menyakinkan kita untuk tetap di sini?” Mamanya berusaha menyakinkan agar Adrienne bisa berangkat ke Indonesia, tapi di sisi lain, Adrienne merasa cemas setelah mendengar percakapan kedua orangtuanya. Ia lari ke kamar dan berusaha tenang dengan menghubungi salah satu temannya yang tinggal di Paris juga.
“Ayolahh, angkat telepon gue, Gres…” kata Adrienne dengan nada sedikit kesal akibat Gresia temannya tak kunjung mengangkat telepon darinya, selang beberapa menit Gresia menelepon Adrienne.
“Ada apa, Adrienne? Kok tumben telepon tanpa chat dulu?” tanya Gresia pada Adrienne yang tampak kebingungan.
“Itu, Gres, tadi gue sempet denger mama ngobrol sama papa kalau gue akan dipindahtempatkan ke Indonesia atau bisa dikatakan gue akan kuliah di sana. Lu tau sendiri kan, gue punya teman dari Indonesia cuman lu doang.” jawab Adrienne.
“Berarti kuliah lu di sini putus dong? Lalu lanjut lagi di Indonesia?” tanya Gresia lagi.
“Ya elahh, lu gitu doang gak paham sih, Gres. Ya pasti lahh, gue putus kuliah di sini.” Lagi-lagi, Adrienne meredam emosinya sebab tingkah konyol temannya.
“Ooh iya, Adrienne, kalau lu mau nyari teman orang Indonesia, katanya sihh sering pakai aplikasi Telegram gitu dan di situ ada sebuah grup, coba aja, tapi lu harus hati-hati.” kata Gresia sedikit memberikan hasil pencariannya.
“Coba aja dehh siapa tau ada, tapi gue gak terlalu yakin sihh bakalan bisa nerima gue jadi teman, kan lu tau sendiri gue orangnya gimana, Gres?” jawab Adrienne sembari mengotak-atik laptopnya, mencari tahu tentang aplikasi itu.
Tak lama kemudian, Adrienne berhasil men-download aplikasi tersebut lalu ia melakukan step-step yang dikatakan Gresia tadi.
Ketika ia sudah menemukan grup itu, ia langsung saja memulainya akan tetapi ia terkaget lantaran balasannya cukup tidak mengenakkan. Lalu di sisi lain, ia memberanikan diri lagi untuk kembali masuk grup itu.
Keesokan harinya, ia mendapat balasan dari grup itu di mana membuatnya cukup merasa senang dengan awalan ketidaksengajaan.
Lebih tepatnya, isi chat-nya seperti ini:
“Hi...” ujar Adrienne, itu menjadi awalan chat mereka.
“Heh.” jawab cowok itu singkat namun membuat Adrienne merasa senang.
“Cewe/cowo?” tanya Adrienne lagi, sekadar memastikan ia sedang berbicara dengan siapa.
“Cowo,” katanya.
Seperti itulah isi chat mereka, singkat namun berarti buat Adrienne.
Dan akhirnya, Adrienne mendapatkan seorang teman dari Indonesia, lalu beberapa hari ia terus chatting-an dengan cowok itu tanpa ada kata lelah. Bisa dikatakan pembahasannya tidak cukup penting akan tetapi membuat hati Adrienne sedikit merasa tenang jika sewaktu-waktu ia benar dipindahtempatkan ke Indonesia karena ia tak perlu cemas mencari teman.
Dari sebuah bot, mereka berpindah ke sebuah ruang percakapan pribadi di mana mereka lebih leluasa berbincang satu sama lain dan di situlah awal cerita Adrienne dan si cowok dimulai.
Pagi harinya tepat pukul 05.31 WIB karena Adrienne mencocokkan waktunya dengan waktu Indonesia agar tidak mengganggu si cowok tersebut.
“Selamat pagi.” sapa Adrienne pada teman barunya.
Akan tetapi, chat Adrienne tidak kunjung mendapat balasan sehingga ia memutuskan untuk mengabari lagi tepat pukul 18.25 WIB.
“Hello, orangnya masih adakah?” tanya Adrienne untuk kedua kalinya. Dia merasa senang meskipun harus menunggu lagi.
Selang beberapa menit, si cowok tadi membalas chat dari Adrienne.
“Maaf baru online.” Balasan chat yang sederhana namun cukup untuk menepis rasa khawatir Adrienne.
Begitulah awalan chat–nya di mana Adrienne yang terlebih dulu menyapa. Meskipun si cowok lama membalasnya, Adrienne tetap menunggu. Lalu di sisi lain, ia menceritakan hal tersebut pada Gresia, teman yang sudah mengenalkannya pada aplikasi itu.
“Gres, gue sudah coba tuh aplikasi dan bener kata lu, kita harus berhati-hati sihh.” kata Adrienne pada Gres di saat Gres sedang menikmati pizza yang ia pesan tepat sebelum Adrienne menelepon.
“Ya elahh, lu ganggu gue aja tiba-tiba telepon. Trus gimana dapat gak temannya?” kata Gres dengan nada bicara yang sedikit belepotan sebab ia berbicara sambil mengunyah makanan.
“Dapet dong, akhirnya gue punya dua teman dari Indonesia.” jawab Adrienne sembari menuruni tangga kamarnya menuju ruang tamu.
“Orang mana tuh, Adrienne? Hati-hati lohh, jangan mudah percaya.” tanya Gres sedikit takut temannya ini kenapa-kenapa.
“Dia cowok dari Bandung, namanya sih Biantara, dia umur 18 tahun katanya.” jawab Adrienne.
“Hahh, 18 tahun? Masih sekolah dong? Adrienne, lu harus berhati-hati, okee.” pinta Gres pada Adrienne.
“Tenang aja, Bian orangnya baik kok. Gue sudah bisa nebak tuhh orang pasti gak bohong.” jawab Adrienne dengan rasa kepercayaan yang tinggi pada si cowok tadi. Terlebih lagi, Adrienne ini anak yang dengan mudahnya jatuh hati pada siapa pun orang yang ia temui baik itu virtual maupun tidak.
Ketika ia sedang menikmati secangkir teh dengan ditemani kue biskuit buatan sang mama, dari kejauhan tampak sang mama dan papa menghampiri Adrienne tanpa basa-basi. Adrienne sudah menebak apa yang akan orangtuanya bicarakan.
“Adrienne, ada yang Mama Papa mau bicarakan.” Sang papa duduk tepat di samping Adrienne.
“Iyaa, Pa, ada apa?” jawab Adrienne penasaran akankah tebakan yang ia lontarkan benar.
Di sisi lain, sang mama sedikit khawatir akan Adrienne yang tampak kebingungan saat papanya memulai pembicaraan.
“Papa, Mama sudah membicarakan hal ini terlebih dahulu sebelum kami memutuskan untuk memberitahumu.” kata papa.
“Iya, Adrienne, kita sudah memikirkan hal ini baik-baik jadi kamu tenang saja tidak perlu khawatir.” Mama menenangkan kekhawatiran sang anak dengan kata-kata lembut khas sang mama.
“Ma, Pa. Adrienne siap mendengarkan apa pun yang kalian bicarakan.” kata Adrienne sembari melontarkan senyuman yang merekah di wajahnya.
“Begini Adrienne, kamu kan sudah dewasa, sedangkan kamu sendiri tidak pernah berkunjung ke Indonesia, iya kan? Bagaimana kalau kuliahmu di sini dilanjutkan di Indonesia?” ujar papanya sembari menyeruput teh yang masih panas.
“Baiklah, Pa, aku setuju dengan usulan kalian berdua. Lagipula aku tidak sendirian kok di Indonesia nanti, Pa, Ma.” jawab Adrienne dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan, tapi di sisi lain, Adrienne merasa takut jika terjadi apa-apa di sana.
Sedangkan papa mama Adrienne terkejut akan jawaban anaknya yang tiba-tiba tanpa berpikir panjang.
“Iya sudah, Adrienne, kami akan mempersiapkan semuanya, kamu persiapkan dirimu, yaa.” kata papa.
Setelah itu, papanya mengurus semuanya lalu beberapa minggu kemudian papanya berkata kalau dia akan berangkat dua bulan lagi. Di saat itulah Adrienne merasa senang akan berita itu kemudian ia memulai lagi chat dengan Biantara, cowok yang ia kenal dari Telegram.
Chat yang awal mulanya biasa saja kini menjadi agak dalam, di mana sudah berani melibatkan hati Adrienne dan tanpa sadar ia dibuat nyaman oleh anak Bandung itu.
“Aduhh kan, aku jadi buat anak orang GR.” kata Adrienne merasa bersalah sudah mendahului chat tanpa aba-aba.
“Tanggung jawab ayolohh.” jawab cowok tadi.
“Tanggung jawab apa atuh.” ujar Adrienne sedikit membalas dengan bahasa Sunda khas Bandung.
“Maunya gimana?” tanya cowok itu. Mungkinkah Adrienne menyadari sesuatu dari sini?
“Maunya kita naik motor berdua keliling Bandung.” jawab Adrienne dengan begitu santai, tapi Adrienne belum menyadarinya kalau cowok ini menawarkan untuk lebih mengenalnya.
“Boleh banget dong... Jadi kapan ke Bandung bebb? Ditunggu di Bandung.” kata cowok itu dengan nada sedikit rayuan cowok.
Hari berangsur hari mereka lewati dengan chat dan tibalah waktunya Adrienne untuk meninggalkan Paris dan terbang ke Indonesia.
“Ma, Pa, Adrienne pamit, ya. Jaga diri kalian baik-baik, Adrienne akan belajar sebaik mungkin di kampus baru nanti.” ujarnya.
“Baiklah, Nak, semoga betah di sana dan kalau kamu butuh apa-apa kabari kami.” kata papanya, sedangkan mamanya tak berhenti menangis melepaskan anak semata wayangnya untuk merantau jauh dari mereka.
“Adrienne, gue bakal rindu sama lu, gak ada yang ajak gue main gak jelas lagi dehh.” ucap Gres dengan isak tangis yang keluar dari kedua matanya.
“Halahh, lu drama mulu, bisa aja kita call-an kan?” jawab Adrienne sembari merangkul sahabatnya itu.
Bunyi panggilan untuk penerbangan Adrienne pun datang, di saat itulah Adrienne benar-benar sendiri tanpa siapa pun yang menemaninya.
Dua puluh jam ia lalui di dalam burung besi itu, ia menonton film, mendengarkan musik sembari menunggu waktunya untuk mendarat. Tepat pukul 07.00 WIB pesawat itu mendarat dengan selamat di Bandar Udara Juanda-Surabaya, kemudian bergegaslah ia untuk menuju rumah yang sudah papanya siapkan.
Ia kini menjadi mahasiswi pindahan di salah satu universitas Surabaya, lalu tepat setelah dua hari ia datang di Surabaya, ia memasuki kampus barunya untuk pertama kali tanpa seorang temanpun.
Ia mengambil jurusan Hubungan Internasional. Hari demi hari ia lalui sendiri dengan satu teman tetap yaitu cowok dari Bandung. Mereka tak pernah putus chat hingga akhirnya Adrienne berani menaruh hati pada Biantara dengan percaya diri karena yang ia tau Biantara cowok yang jomlo tak punya pasangan, dari situlah ia berharap lebih pada Biantara.
“Hallo ibu RT, apa kabar?” tanya Bian yang dengan tumbennya chat duluan padahal biasanya Adrienne.
“Wahh, tumben chat duluan, kabar gue baik kok. Ohh iya, gue punya kabar nih.” jawab Adrienne sembari menahan ketawanya karena tersipu malu.
“Apa nih kabarnya? Gue gak sabar dengernya.” ucap Bian tapi Adrienne membacanya dengan nada yang cukup lembut sehingga itu membuatnya berkhayal akan kehadiran Bian di sisinya.
“Gue sekarang jadi mahasiswi di Surabaya dong jadi nanti gue bisa main ke Bandung.” ujar Adrienne penuh kegirangan saat mengetik kalimat itu, di sisi lain Bian terkejut karena secara tiba-tiba Adrienne sudah di Surabaya.
“Waww boleh banget dong kita ketemu, jangan lupa nanti call yaa kalau jadi ke Bandung.” tawar Bian pada Adrienne.
Malam harinya, ia mengganggu si Bian lagi seperti biasanya tanpa basa-basi, tapi ia tertegun setelah membaca balasan chat–nya. Ia diam seketika lalu berpikir. “Lohh, ini mah bukan Bian, lantas kemana si Bian?” ujar Adrienne sedikit kebingungan dengan isi chat itu.
“Saya dokter, boleh saya periksa, Pak?” Lagi-lagi Adrienne membuka obrolan mereka dengan candaan.
“Ini siapa? Serius ehh? Yang punya HP ini lagi gaada.” balas si cowok tapi sedikit aneh sebab tidak pernah cowok itu membalas seperti ini.
“Maksudnya?” tanya Adrienne dengan penuh terheran-heran.
“Lagi dibajak sama temannya.” katanya.
Awalnya, ia pikir cuma chat biasa tapi lama kelamaan temannya Bian mengatakan sesuatu yang membuat hati Adrienne luluh lantak.
“Dia pergi sama cewenya, cewenya marah-marah.” balas akun tersebut.
“Ohh sama cewenya?” tanya Adrienne penuh rasa tidak percaya.
Tak berhenti sampai di situ karena ia masih tak percaya akan omongan temannya. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tanya langsung ke Bian. Tapi di sini mereka berdua sudah beralih ke WhatsApp, begitulah si Adrienne kalau sudah nyaman akan terus sampai ke WhatsApp.
“Katanya kemarin, lagi sama cewe, berarti punya gebetan dong?” tanya Adrienne lagi, lagi, dan lagi.
“Punya,” jawab Bian. Balasan yang singkat namun sedikit menorehkan luka pada hati Adrienne lalu mematahkan harapan yang ia ciptakan sendiri dengan adanya chat itu.
Dan yang paling parah, lagi-lagi Bian berbohong mengenai umur dia yang awalnya berkata berumur 18 ternyata berumur 20 tahun. Di situlah Adrienne benar-benar menangis sejadi-jadinya. Kebetulan Gres meneleponnya di mana Adrienne menjawab dengan nada sedu.
“Iya ada apa, Gres?” kata Adrienne, suara isak tangis yang masih terdengar membuat sahabatnya panik.
“Ehh, lu kenapa? Ada masalah apa kok sampai nangis sih?” Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul dari Gres.
“Bian, Bian jahat, Gres, Bian sudah berbohong pada gue, dia bilang kalau tidak punya pasangan tapi nyatanya dia punya, sedangkan perasaan gue yang terlanjur ada mau dikemanain Gres...” Tangisan Adrienne seketika pecah seolah-olah kelopak matanya sudah tak kuasa membendung air mata itu lagi. Tak ada satu katapun yang bisa ia lontarkan lagi, yang ia bisa lakukan hanya menangis lalu tertidur lelap.
“Sudahlah, ‘kan sudah gue bilang jangan mudah percaya pada orang yang baru lu kenal.” Telepon mereka berdua pun berakhir larut malam.
Berminggu-minggu, Adrienne mencoba melupakan kejadian itu tanpa mengabari Bian seperti biasanya, kemudian Adrienne memberanikan diri untuk membuka obrolan lagi dengan Bian, tujuannya hanya satu yaitu bisa bertemu dengan Bian di Bandung.
“Hai, Bian. Apa kabar?” Begitu isi chat Adrienne.
“Ohh hai, Adrienne, ke mana aja kok baru chat?” kata Biantara beriringan sebuah pertanyaan kecil.
“Gue sibuk akhir-akhir ini, hehe.“
Sedingin itu Adrienne pada Biantara sekarang karena ia tahu tidak baik chat terlalu dalam sama orang yang sudah punya pasangan.
“Bian, rencananya gue mau liburan nih ke Bandung.” kata Adrienne sembari menahan tangisannya agar tidak pecah lagi.
“Wahh kabar yang bagus. Nanti gue kenalin ke cewe gue yaa.” jawab Bian. Di mana jawaban Bian tadi membuat Adrienne lagi-lagi menangis.
Libur kuliah pun datang, Adrienne sudah mempersiapkan semuanya akan keberangkatannya ke Bandung, lalu setibanya di Bandung ia disambut hangat oleh Bian tak lupa pula gebetannya ikut menemani.
“Haii, Adrienne, akhirnya kita bertemu, yaa. Ohh ya, ini kenalin Clara, gebetan gue.” Sambutan yang cukup panas dari bibir Bian akan tetapi Adrienne berusaha tenang, setenang mungkin.
“Haii juga kalian berdua, Clara sudah kenal gue?” kata Adrienne sembari bersalaman dengan Bian dan Clara.
“Sudah, Kak, Bian sedikit cerita tentang Kakak, bagaimana kenalnya, pokoknya Bian cerita semuanya deh.” Clara sedikit melontarkan senyumannya pada Adrienne.
Lalu mereka bertiga berjalan mengantarkan Adrienne ke penginapan, di situlah mereka bertiga tidak sengaja menjadi teman, yang awalnya cinta berubah jadi pertemanan biasa.
Adrienne terpaksa mengubur dalam-dalam rasa cintanya agar tidak merusak semuanya.
Sebuah garis keturunan Jawa katanya akan sulit menyatu dengan Sunda, itulah yang membuat Adrienne menjauh. Tapi kita tidak boleh mempercayai hal itu, cukup percaya saja sama takdir yang sudah ditentukan.
“Mungkin hati bisa berpaling, tapi kalau sudah berjodoh tanpa tegur sapa pun akan tetap bertemu.
Tradisi bisa memisahkan dua hati yang saling menyatu, tapi takdir juga bisa menyatukan lagi keduanya.”
– Hilaliyah