Doc: google

Oleh: Sibghoo_

Anak muda itu harus gaul” – Sering kali saya mendengar kalimat itu diucapkan oleh anak muda di era modern. Bahkan di kalangan bocah SD-pun sudah biasa dilakukan. Bukan lagi hal yang aneh ketika masyarakat, khususnya anak muda melabelkan dirinya sebagai ‘anak yang gaul’. Yang aneh itu ketika gaulnya bukan pada tempatnya.

Gaul itu apa, sih? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gaul diartikan sebagai hidup berteman atau bersahabat. Namun, yang akan saya bahas bukan pengertian  tersebut. Melainkan arti gaul menurut anak muda pada umumnya. Ketika saya bertanya kepada beberapa teman kelas, adik kelas, juga anak-anak remaja di lingkungan desa, tentang pengertian gaul. Jawaban mereka rata-rata sama, yakni orang yang keren, mengikuti tren, dan tidak ndeso, itulah yang dikatakan gaul.

Dari jawaban anak muda tentang istilah gaul, di sini saya tertarik untuk membahas tentang kalimat ‘jika tidak ndeso maka dikatakan gaul’. Ketika saya mengamati perilaku teman-teman rumah, dan anak-anak SD, SMP, SMA dekat rumah, saya dapat menyimpulkan bahwa salah satu yang dikatakan tidak ndeso yaitu, always be using Indonesia language in the daily. 

Bahasa Indonesia memang merupakan bahasa pemersatu bangsa. Hal ini, sudah diucapkan oleh para pemuda terdahulu, yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Saya akan menghubungakan permasalahan di atas dengan isi Sumpah Pemuda ayat ke-3, “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Karena pada hari ini, tanggal 28 Oktober 2019 adalah Hari Sumpah Pemuda. Dari ayat itu, saya sangat mengapresiasi ketika anak desa yang notabenenya tradisional (selalu berbahasa daerah), sudah bisa menerapkan bahasa pemersatu dalam kesehariannya.

Yang menggelitik pikiran saya bukan tentang kebanggaan saya perihal anak desa yang sudah menggunakan bahasa Indonesia. Melainkan kebiasaan menggunakan bahasa Indonesia untuk dibilang gaul. Hal ini, sudah sering saya jumpai anak muda desa yang berbicara bahasa Indonesia kepada siapapun tanpa terkecuali. Mereka sangat enjoy pada saat berbicara di tengah-tengah orang yang berbicara menggunakan bahasa daerah.

Seperti halnya kejadian yang saya alami ketika pulang ke kampung halaman (Pamekasan, Madura). Pada saat saya ingin membeli sesuatu di sebuah toko usang milik tetangga saya. Lalu datang seorang anak perempuan menyela pembicaraan saya dengan ibu pemilik toko, “Bu, aku mau beli mie, dong!”. Mendengar kalimat itu membuat saya sadar bahwa bahasa Indonesia yang aslinya menjadi pemersatu, bisa juga menjadi buruk jika salah digunakan.

Kalimat yang diucapkannya tersebut, jelas sekali tidak sopan. Karena, bahasa yang digunakan sama seperti di saat mengobrol dengan teman sebayanya. Pada saat itu pula saya tersenyum risih dan berkata dalam hati, “Jhā’ pas asa-bahasa ĕ dinna’, yee tao ghi’ ngodā pastĕ asa-bahasa ma’ lĕ gaul. Tapĕ kan ta’ ollĕ mon cara ngoca’en dāyyā” (terjemahan: “Di sini pake bahasa, yaa tau masih muda pake bahasa biar gaul. Tapi kan gak boleh kalo cara ngomongnya gitu”). Sungguh miris ketika ingin kelihatan gaul tetapi tidak tahu sopan santun.

Kasus yang sama juga terjadi ketika saya pergi mengunjungi rumah teman lama. Pada saat itu, teman saya disuruh membeli beras oleh neneknya yang sudah tua renta. Seketika teman saya berkata yang tidak sesuai dikatakan kepada orang yang sudah sepuh. Ia menggunakan bahasa indonesia gaul ala anak muda zaman now, “Heem, habis ini gue berangkat ke toko. Bentar  lagi napa, santuy”. Saya heran, seorang nenek desa yang pada umumnya tidak tahu berbahasa Indonesia, malah dijawab dengan kalimat bahasa Indonesia yang demikian. Saya kasihan melihat nenek itu hanya mendengarkan perkataan yang tidak ia pahami. Hah, sungguh gaul yang bukan pada tempatnya.

Kedua contoh itu hanyalah salah satu di antara pengalaman-pengalaman yang sering saya rasakan ketika pulang kampung. Pernah suatu ketika saya menegur remaja yang usianya sekitar 15 tahun, tentang kejadian yang mirip seperti di atas. Namun, remaja itu ngeyel, “Orang desa gak harus selalu jadi desa dong mbak. Harus gaul, harus kayak orang kota-kota besar lain. Makanya aku pakek bahasa terus, biar gaul”. Sangat kesal mendengar alasan receh dari remaja itu, membuat bahasa Indonesia jadi buruk, kan.

Bahasa Indonesia yang dikatakan bahasa pemersatu adalah pada saat ingin berkomunikasi dengan orang yang berbeda kota. Sehingga, otomatis bahasa yang digunakan berbeda pula. Untuk bisa melakukan interaksi itu, maka harus menggunakan bahasa yang dapat dipahami, yakni bahasa Indonesia. Sama halnya ketika pergi ke luar negeri, untuk dapat berkomunikasi dengan orang asing, maka setidaknya harus bisa berbahasa Inggris (bahasa internasional).

Saya hanya ingin menyampaikan bahwa gaul itu boleh-boleh saja. Asalkan tahu tempat dan kondisi. Maksudnya, dengan siapa kita berinteraksi, dimana kita berada, dengan cara apa kita berbuat, itu semua harus diperhatikan. Karena, gaul yang benar adalah dapat memanfaatkan kemodernan dengan cara yang baik (tidak menyimpang).

*Mahasiswa Tapsitera’18 yang masih belum sempurna*