
doc.google
Manusia zaman sekarang sering berpikiran sempit jika mendengar kata “bid’ah”. Apa lagi bagi orang awam. Orang awam berarti orang yang tidak memiliki pengetahuan spesifik terhadap suatu subjek yang dibahas, sehingga mudah sekali termakan artikel hoax di google ketika mencari tahu perihal agama Islam. Bahkan sampai ada yang tebal muka menceramahi orang lain dan men-judge bahwa sesuatu yang dilakukan mereka itu bid’ah. Padahal yang diketahui belum tentu benar.
Orang awam sering kali menganggap bahwa bid’ah adalah suatu perbuatanyang buruk. Ekstremnya bid’ah sampai diartikan sesat dan kafir. Padahal bid’ah disini belum tentu bermakna demikian. Dilihat dari segi bahasa, bid’ah diambil dari kata bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sedangkan menurut penulis, bid’ah berarti sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Jadi, segala hal yang tidak dikerjakan, tidak digunakan, dan segala yang tidak ada pada zaman Rasulullah berarti bid’ah.
Melihat dari pengertiannya, bisa saya katakan bahwa kelahiran kita semua juga bisa disebut sebagai bid’ah. Banyak orang awam yang tidak sadar akan hal itu. Padahal kalau dipikiran, hampir semua yang kita lakukan termasuk bid’ah. Contohnya, mengendari sepeda motor apabila bepergian, menggunakan telepon genggam, memakai peci dan baju-baju zaman sekarang, dan lain sebagainya. Sebab, semua hal tersebut tidak ada pada zaman Rasulullah.
Maka dari itu, bid’ah dapat dikategorikan menjadi dua bagian. Yang pertama, bid’ah Mahmudah (bid’ah yang masih boleh dikerjakan). Yang kedua adalah bid’ah Madzmumah (bid’ah yang tidak boleh dikerjakan). Dikatakan bid’ah Mahmudah karena bid’ah tersebut tidak bertentangan dengan kedua hukum dasar yakni Al-Qur`an dan Hadist, serta mengandung kebaikan-kebaikan. Kebalikannya, dikatakan bid’ah madzmumah karena bid’ah tersebut sudah bertentangan dengan apa yang sudah ada di dalam kedua hukum dasar agama Islam.
Realitanya, orang awam selalu salah paham tentang bid’ah. Mereka bahkan tidak ingin melakukan amalan-amalan yang baik, sebab takut disangka berbuat bid’ah, misalnya melakukan tahlilan. Memang, pada zaman Rasulullah tahlilan itu tidak ada. Namun, tahlilan tersebut masih boleh dibudayakan, sebab mengandung kemaslahatan dan termasuk suatu perbuatan yang berfaedah, serta tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan hadist. Karena, tahlilan berisi tentang dzikir-dzikir kepada Allah. Karena Allah selalu menganjurkan untuk terus ingat kepadaNya.
Lain halnya dengan sesutau perbuatan yang sudah jelas hukumnya dalam syari’at, tetapi masih saja menciptakan hukum baru. Contoh, ketika melaksanakan shalat. Dalam shalat membaca al-Fatihah hukumnya wajib. Melalui contoh ini, saya ingin mematahkan pandangan orang awam tentang bid’ah yang tidak boleh dilakukan. Maka, apabila membaca surat al-Fatihah dikatakan sunnah, maka hal tersebut jelas tidak boleh dan berdosa. Jadi, kita sebagai umat Islam harus lebih jeli, cerdas, dan berintropeksi diri ketika memandang suatu permasalan maupun kejadian. Jangan terlalu mudah membid’ahkan sesuatu. (Atin)